MENJAMA’
DAN MENGQASHAR SHALAT
Menjama’ shalat yaitu mengumpulkan
dua shalat fardhu dalam satu waktu shalat, dengan memajukan shalat yang
kemudian pada waktu shalat yang lebih dahulu atau dengan mengundurkan shalat
yang lebih dahulu kepada waktu shalat yang kemudian.
Shalat yang boleh dijama’ yaitu
shalat dzuhur dengan shalat ashar dan shalat magrib dengan shalat ‘isya.
Apabila memajukan shalat yang kemudian kepada waktu shalat yang lebih dahulu,
misalnya shalat dzuhur dengan shalat ‘ashar dikerjakan di waktu shalat dzuhur,
dan shalat magrib dengan shalat isya dikerjakan di waktu magrib, dinamakan
dengan jama’ taqim. Sedangkan apabila dengan mengundurkan shalat yang
lebih dahulu kepada waktu shalat yang kemudian, yakni shalat dzuhur dengan
shalat ashar dikerjakan pada waktu ashar, dan shalat magrib dengan shalat isya
dikerjakan pada waktu isya, dinamakan jama’ ta’khir. Dalam sebuah hadis
berasal dari ibnu Abbas:
Artinya:
“ibnu Abbas r.a. berkata:
Rasulullah Saw pernah menjamak sholat dzuhur dengan ashar dan magrib dengan
isya’ di Madinah tanp[a disebabkan factor ketakutan (khauf) atau hujan. Beliau
di Tanya apa sebabnya, lalu menjawab agar tidak menyulitkan umatnya” (H.R.
Muslim).[1]
Mengqashar shalat ialah memendekkan
jumlah raka’at shalat, dari empat raka’at dipendekkan atau diringkas menjadi
dua raka’at. Dasar disyari’atkannya mengqashar shalat, antara lain firman Allah
dalam surat An-Nisa/4ayat 101:
Artinya:
“dan apabila kamu bepergian di
muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar sembahyang(mu), jika kamu
takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah
musuh yang nyata bagimu.”[2]
Dalam
hadis dari Ya’la bin Umayyah ditarangkan bahwa, ia pernah mengemukkakan hal itu
kepada Rasulullah Saw, yang kemudian oleh beliau dijawab:
Artinya:
“itu adalah pemberian
(kelonggaran) dari Allah kepadamu, maka terimalah pemberian-Nya” (H.R.
Jama’ah, kecuali Bukhari).[3]
Mengqasar
shalat bagi orang yang berpergian (musafir)
Seorang musafir diperbolehkan untuk
meringkas shalat, yakni dengan meringkas shalat yang jumlahnya empat rakaat
menjadi dua rakaat.
Dalam sebuah hadis Ibn Uma, berkata:
“Saya mendampingi Rasulullah saw dalam sebuah perjalanan, beliau meringkas
shalat menjadi 2 rakaat, begitu pula Abu Bakar, Umar, dan Usman melakukannya
demikian.
Ibnu Mas’ud berkata “Aku shalat
bersama Nabi saw dengan 2 rakaar, bersama Abu Bakar 2 rakaat, bersama Umar
dengan 2 rakaat, kemudian aku menempuh cara yang berbeda, aku lebih senang
mengerjakan dengan 4 rakaat 4 rakaat.”
Anas ibn Malik berkata: “kita pernah
bepergian dengan Rasulullah saw ke Mekah, beliau meringkas shalat menjadi 2
rakaat hingga beliau kembali, kami menetap di sana selama 10 hari, kami
meringkas demikian hingga kami kembali.”
Dari Ya’la Ibn Umayah, berkata “saya
bertanya kepada Umar Ibn Khattab, Tidaklah mengapa kamu mengqasar shalatmu,
jika kamu takut akan aksi intimidatif orang-orang kafir, ketika rasa keamanan
umat islam hilang. Kemudian Y’la berkata: aku kagum dengan pendapat Umar.
Kemudian aku bertanya langsung kepada Nabi saw tentang hal ini, Nabi saw
bersabda: Sebuah shadaqah yang dianugerahkan oleh Allah swt kepadamu, maka
nukmatilah shadaqah itu.”
Setelah para ulama bersepakat
tentang bolehnya mengqasar shalat bagi musafir, timbul perbedaan pendapat di
antara mereka tentang jarak tempuh yang di perbolehkan untuk qasar shalat,
seperti pendapatnya Ibn Mundzir yakni jarak 20 kaki.
Imam Syafi’I membolehkan mengqasar
shalat dalam jarak 2 marhalah, yaitu 48 mil. Apabila jarak perjalanan
yang ditempuh kurang dari 48 mil, maka tidak di perbolehkan qasar shalat.
Pendapat ini adalah pendapat Ibn Umar, Ibn Abbas, Hasan al-Bashari, Az-Zuhry,
Malik, Laits, Ahmad, ISHAQ, dan Abu Tsaur.
Imam Abu Hnifah tidak membolehkan
mengqasar shalat dalam perjalanan yang jarak tempuhnya kurang dari 3 hari (3
marhalah). Pendapat ini adalah pendapat Usman, Ibn Ma’ud, Hudzaifah, As-Sya’by,
al-Nakha’I, Hasan Ibn Shalih, dan Atsauri.
Dalam sebuah riwayat dari Abu
Hanifah, dia membolehkan mengqasar shalat dalam perjalanan yang waktu tempuhnya
2 hari atau lebih, di samping itu Abu Yuduf dan Muhammad yang menguntip
pendapat Abu Hanifah: Yakni waktu tempuh 3 hari atau lebih dengan menunggang
unta atau berjalan kaki.
Al-Auza’I dan sebagian ulama
kontemporer berpendapat bahwa boleh mengqasar shalat dalam perjalanan yang
waktu tempuhnya 1 hari. Hal ini senada dengan pendapat Ibn Mundzir.
Daud Az-Zahiry membolehkan mengqasar
shalat baik untuk perjalanan jarak jauh meupun jarak dekat, bahkan menurutnya
keluar rumah untuk urusan berkebun atau keluar kota saja boleh mengasar shalat.
Munculnya
perbedaan-perbedaan di atas dikarenakan 2 hal:
Pertama
: Tidak adanya nash yang sharih/jelas mengenai batasan jarak/waktu
tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk mengqasar shalat.
Kedua:
Beragamnya pendapat yang dinukil dari sahabat tenang batasan-batasan
jarak/waktu tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk mengqasar shalat dengan berbagai alas an dan
argumentasi masing-masing
Imam syafii dan kelompok yang
berpendapat tentang kebolehan mengqasar shalat, pada waktu tempuh perjalanan 2
marhalah, yakni sebuah riwayat dari Atha’ Ibn Abi Ribah, bahwasanya Ibn Umar
dan Ibn Abbas pernah mengqasar shalat pada suatu perjalanan yang jarak
tempuhnya kurang lebih 4 pos.
Satu riwayat dari Atha’, bahwa dia
bertanya kepada Ibn Abbas: apakah aku harus mengqasar shalat sampai Arafah. Ibn
Abbas berkata: “Tidak, tetapi peralanan sejauh Asfan, eddah, Thaif.
Kelompok yang berpendapat dengan 3
marhalah berargumentasi dengan sebuah riwayat yang mengatakan tentang perbuatan
Nabi saw yang mengqasar shalat dalam perjalanan, sebagian yang lain
berargumentasi dengan sebuah hadis Nabi saw yang berbunyi: “Tidak diperbolehkan
bagi seorang wanita mukmin beprgian selama 3 hari tanpa didampingi muhrimnya,”
dalam sebuah riwayat lain “Seorang wanita dilarang bepergian sejauh 1 pos.”
Jumhur ulama menanggapi
pendapat-pendapat ini, jumhur berpendapat bahwa perbuatan mengqasar shalat yang
dilakukan oleh Nabi saw ketika sedang bepergian tidak ada keharusan untuk
melaksanakan qashar shalat untuk perjalanan yang jarak tempuhnya kurang dari
apa yang dilakukan Nabi saw kala itu.
Adapun hadis yang dijadikan
argumentasi oleh kelompok yang berhujjah dengan 3 hari tadi, bukanlah demikian
kandungan Hadis ini melainkan berisi tenteng larangan bagi seorang wanita untk
berpargian tanpa di damping mushrimnya, hal ini adalah perjalanan khusus.
Seperti sebuah riwayat dari Abi Sa’id al-Khudry, bahwa Nabi saw bersabda “seorang
wanita dilarang bepergian selama 2 hari tanpa didampingi oleh suami atau
muhrimnya.”
Dapat ditarik ksimpulan bahwa Nabi
tidak menyatakan batasan yang jelas dan pasti mengenai jarak/waktu tempuh
perjalanan yang diperbolehkan untuk qasar shalat. Akan tetapi banyak varsi,
seperti 3 hari, 2 hari, sehari semalam, sehari atau semalam saja, jarak 1 pos
atau setengah hari, hanyalah ketentuan-ketentuan ini yang terdapat dalam hadis.
Daud Az-Zahiry berargumentasi lain,
kebolehan qashar shalat tanpa batasan waktu/jarak tempuh yang pasti, dia
mendasarkan pada firman Allah swt Q.S An-Nisa’ ayat 101, yang artinya:
“jika
kamu bapergian/menempuh suatu perjalanan tidaklah berdosa apabila kamu
mengqasar shalat kalian.”
Dalam hadis Yahya Ibn Yazid, ketika
dia mengajukan pertanyaan kepada Anas tentang qashar shalat, Anas berkata:
bahwa Nabi saw apabila bepergian sejauh 3 mil atau 3 farsakh, maka beliau
mengqashar shalatnya dengan 2 rakaat.[4]
Berdasarkan dalil yang dinyatakan
oleh Daud yang berlandaskan nash al-Qu’an dan hadis kesimpulannya yaitu:
Tidak ada satupun riwayat yang sahih dan pasti
tentang kebolehan qashar shalat dalam perjalanan yang jarak tempuhnya kurang
dari 2 marhalah. Adapun hadis Anas, tidak berarti bahwa jarak tempuh perjalanan
boleh qashar shalat adalah 3 mil, akan tetapi maksudnya suatu perjalanan jauh
dengan jarak 3 ml maka boleh mengqashar shalat, 3 mil bukanlah ukuran yang
baku, yang jelas tidak diperbolehkan qashar shalat ketika hanya keluar rumah
atau daerah, akan tetapi jika sudah mncapai jarak-jarak diatas. Sesungguhnya
Nabisaw tidak pernah berpergian ketika waktu shalat sudah tiba, kecuali dia
sudah mengerjakan shalat, jadi mengerjakan shalat selanjutnya setelah tiba di
Madinah.
Sedangkan hadis Syurahbil, yang
menyatakan bahwa Umar r.a shalat di Dzul Khulaifah dengan 2 rakaat, dapat
ditarik kemungkinan bahwa dalam hadis Anas, ketika Umar bepergian ke Mekkah
dengan melewati Dzul Hulaifah, dan aku mendapatinya shalat dengan 2 rakaat,
karena Dzul Hulaifah adalah tujuan perjalanannya.
Yang lebih afdal/utama adalah tidak
mengqashar shalat bila bepergian dngan jarak tempuhnya kurang 3 hari (3
marhalah), hal ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan yang sependapat.
Mengqashar shalat apabila bepergian
dalam jarak tempuh ini di perbolehkan menurut Syafii dan ulama-ulama
yang sependapat. Hal ini berlainan dengan pendapat pertama yakni pendapat
ulama-ulama Hanafiyah tenteng kebolehan qashar shalat ketika bepergiandengan
jarak tempuh 3 hari.[5]
[1] Abdul Hamid, Fikih Ibadah, LP2 STAIN CURUP, CURUP, 2011,
Hal.100
[2] Q.S: An-Nisa’: 101.
[3] Abdul Hamid, Fikih Ibadah, LP2 STAIN CURUP, CURUP, 2011,
Hal.101
[4] Said Agil Husin Al Munawar. Membangun Metodologi Ushul Fiqh: Telaah
Konsep Al-Karahah dalam Istimbath Hukum Islam, Ciputat Press, Jakarta,
2004, hal. 344-347
[5] Hal.348-340
0 komentar: