Author: Unknown
•17.29



MENJAMA’ DAN MENGQASHAR SHALAT

            Menjama’ shalat yaitu mengumpulkan dua shalat fardhu dalam satu waktu shalat, dengan memajukan shalat yang kemudian pada waktu shalat yang lebih dahulu atau dengan mengundurkan shalat yang lebih dahulu kepada waktu shalat yang kemudian.
            Shalat yang boleh dijama’ yaitu shalat dzuhur dengan shalat ashar dan shalat magrib dengan shalat ‘isya. Apabila memajukan shalat yang kemudian kepada waktu shalat yang lebih dahulu, misalnya shalat dzuhur dengan shalat ‘ashar dikerjakan di waktu shalat dzuhur, dan shalat magrib dengan shalat isya dikerjakan di waktu magrib, dinamakan dengan jama’ taqim. Sedangkan apabila dengan mengundurkan shalat yang lebih dahulu kepada waktu shalat yang kemudian, yakni shalat dzuhur dengan shalat ashar dikerjakan pada waktu ashar, dan shalat magrib dengan shalat isya dikerjakan pada waktu isya, dinamakan jama’ ta’khir. Dalam sebuah hadis berasal dari ibnu Abbas:
Artinya:

            “ibnu Abbas r.a. berkata: Rasulullah Saw pernah menjamak sholat dzuhur dengan ashar dan magrib dengan isya’ di Madinah tanp[a disebabkan factor ketakutan (khauf) atau hujan. Beliau di Tanya apa sebabnya, lalu menjawab agar tidak menyulitkan umatnya” (H.R. Muslim).[1]


            Mengqashar shalat ialah memendekkan jumlah raka’at shalat, dari empat raka’at dipendekkan atau diringkas menjadi dua raka’at. Dasar disyari’atkannya mengqashar shalat, antara lain firman Allah dalam surat An-Nisa/4ayat 101:
            Artinya:
            “dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”[2]
            Dalam hadis dari Ya’la bin Umayyah ditarangkan bahwa, ia pernah mengemukkakan hal itu kepada Rasulullah Saw, yang kemudian oleh beliau dijawab:
            Artinya:
            “itu adalah pemberian (kelonggaran) dari Allah kepadamu, maka terimalah pemberian-Nya” (H.R. Jama’ah, kecuali Bukhari).[3]

Mengqasar shalat bagi orang yang berpergian (musafir)
            Seorang musafir diperbolehkan untuk meringkas shalat, yakni dengan meringkas shalat yang jumlahnya empat rakaat menjadi dua rakaat.
            Dalam sebuah hadis Ibn Uma, berkata: “Saya mendampingi Rasulullah saw dalam sebuah perjalanan, beliau meringkas shalat menjadi 2 rakaat, begitu pula Abu Bakar, Umar, dan Usman melakukannya demikian.
            Ibnu Mas’ud berkata “Aku shalat bersama Nabi saw dengan 2 rakaar, bersama Abu Bakar 2 rakaat, bersama Umar dengan 2 rakaat, kemudian aku menempuh cara yang berbeda, aku lebih senang mengerjakan dengan 4 rakaat 4 rakaat.”
            Anas ibn Malik berkata: “kita pernah bepergian dengan Rasulullah saw ke Mekah, beliau meringkas shalat menjadi 2 rakaat hingga beliau kembali, kami menetap di sana selama 10 hari, kami meringkas demikian hingga kami kembali.”
            Dari Ya’la Ibn Umayah, berkata “saya bertanya kepada Umar Ibn Khattab, Tidaklah mengapa kamu mengqasar shalatmu, jika kamu takut akan aksi intimidatif orang-orang kafir, ketika rasa keamanan umat islam hilang. Kemudian Y’la berkata: aku kagum dengan pendapat Umar. Kemudian aku bertanya langsung kepada Nabi saw tentang hal ini, Nabi saw bersabda: Sebuah shadaqah yang dianugerahkan oleh Allah swt kepadamu, maka nukmatilah shadaqah itu.”
            Setelah para ulama bersepakat tentang bolehnya mengqasar shalat bagi musafir, timbul perbedaan pendapat di antara mereka tentang jarak tempuh yang di perbolehkan untuk qasar shalat, seperti pendapatnya Ibn Mundzir yakni jarak 20 kaki.
            Imam Syafi’I membolehkan mengqasar shalat dalam jarak 2 marhalah, yaitu 48 mil. Apabila jarak perjalanan yang ditempuh kurang dari 48 mil, maka tidak di perbolehkan qasar shalat. Pendapat ini adalah pendapat Ibn Umar, Ibn Abbas, Hasan al-Bashari, Az-Zuhry, Malik, Laits, Ahmad, ISHAQ, dan Abu Tsaur.
            Imam Abu Hnifah tidak membolehkan mengqasar shalat dalam perjalanan yang jarak tempuhnya kurang dari 3 hari (3 marhalah). Pendapat ini adalah pendapat Usman, Ibn Ma’ud, Hudzaifah, As-Sya’by, al-Nakha’I, Hasan Ibn Shalih, dan Atsauri.
            Dalam sebuah riwayat dari Abu Hanifah, dia membolehkan mengqasar shalat dalam perjalanan yang waktu tempuhnya 2 hari atau lebih, di samping itu Abu Yuduf dan Muhammad yang menguntip pendapat Abu Hanifah: Yakni waktu tempuh 3 hari atau lebih dengan menunggang unta atau berjalan kaki.
            Al-Auza’I dan sebagian ulama kontemporer berpendapat bahwa boleh mengqasar shalat dalam perjalanan yang waktu tempuhnya 1 hari. Hal ini senada dengan pendapat Ibn Mundzir.
            Daud Az-Zahiry membolehkan mengqasar shalat baik untuk perjalanan jarak jauh meupun jarak dekat, bahkan menurutnya keluar rumah untuk urusan berkebun atau keluar kota saja boleh mengasar shalat.
Munculnya perbedaan-perbedaan di atas dikarenakan 2 hal:
Pertama : Tidak adanya nash yang sharih/jelas mengenai batasan jarak/waktu tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk mengqasar shalat.
Kedua: Beragamnya pendapat yang dinukil dari sahabat tenang batasan-batasan jarak/waktu tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk mengqasar  shalat dengan berbagai alas an dan argumentasi masing-masing
            Imam syafii dan kelompok yang berpendapat tentang kebolehan mengqasar shalat, pada waktu tempuh perjalanan 2 marhalah, yakni sebuah riwayat dari Atha’ Ibn Abi Ribah, bahwasanya Ibn Umar dan Ibn Abbas pernah mengqasar shalat pada suatu perjalanan yang jarak tempuhnya kurang lebih 4 pos.
            Satu riwayat dari Atha’, bahwa dia bertanya kepada Ibn Abbas: apakah aku harus mengqasar shalat sampai Arafah. Ibn Abbas berkata: “Tidak, tetapi peralanan sejauh Asfan, eddah, Thaif.
            Kelompok yang berpendapat dengan 3 marhalah berargumentasi dengan sebuah riwayat yang mengatakan tentang perbuatan Nabi saw yang mengqasar shalat dalam perjalanan, sebagian yang lain berargumentasi dengan sebuah hadis Nabi saw yang berbunyi: “Tidak diperbolehkan bagi seorang wanita mukmin beprgian selama 3 hari tanpa didampingi muhrimnya,” dalam sebuah riwayat lain “Seorang wanita dilarang bepergian sejauh 1 pos.”
            Jumhur ulama menanggapi pendapat-pendapat ini, jumhur berpendapat bahwa perbuatan mengqasar shalat yang dilakukan oleh Nabi saw ketika sedang bepergian tidak ada keharusan untuk melaksanakan qashar shalat untuk perjalanan yang jarak tempuhnya kurang dari apa yang dilakukan Nabi saw kala itu.
            Adapun hadis yang dijadikan argumentasi oleh kelompok yang berhujjah dengan 3 hari tadi, bukanlah demikian kandungan Hadis ini melainkan berisi tenteng larangan bagi seorang wanita untk berpargian tanpa di damping mushrimnya, hal ini adalah perjalanan khusus. Seperti sebuah riwayat dari Abi Sa’id al-Khudry, bahwa Nabi saw bersabda “seorang wanita dilarang bepergian selama 2 hari tanpa didampingi oleh suami atau muhrimnya.”
            Dapat ditarik ksimpulan bahwa Nabi tidak menyatakan batasan yang jelas dan pasti mengenai jarak/waktu tempuh perjalanan yang diperbolehkan untuk qasar shalat. Akan tetapi banyak varsi, seperti 3 hari, 2 hari, sehari semalam, sehari atau semalam saja, jarak 1 pos atau setengah hari, hanyalah ketentuan-ketentuan ini yang terdapat dalam hadis.
            Daud Az-Zahiry berargumentasi lain, kebolehan qashar shalat tanpa batasan waktu/jarak tempuh yang pasti, dia mendasarkan pada firman Allah swt Q.S An-Nisa’ ayat 101, yang artinya:
“jika kamu bapergian/menempuh suatu perjalanan tidaklah berdosa apabila kamu mengqasar shalat kalian.”
            Dalam hadis Yahya Ibn Yazid, ketika dia mengajukan pertanyaan kepada Anas tentang qashar shalat, Anas berkata: bahwa Nabi saw apabila bepergian sejauh 3 mil atau 3 farsakh, maka beliau mengqashar shalatnya dengan 2 rakaat.[4]

            Berdasarkan dalil yang dinyatakan oleh Daud yang berlandaskan nash al-Qu’an dan hadis kesimpulannya yaitu:
 Tidak ada satupun riwayat yang sahih dan pasti tentang kebolehan qashar shalat dalam perjalanan yang jarak tempuhnya kurang dari 2 marhalah. Adapun hadis Anas, tidak berarti bahwa jarak tempuh perjalanan boleh qashar shalat adalah 3 mil, akan tetapi maksudnya suatu perjalanan jauh dengan jarak 3 ml maka boleh mengqashar shalat, 3 mil bukanlah ukuran yang baku, yang jelas tidak diperbolehkan qashar shalat ketika hanya keluar rumah atau daerah, akan tetapi jika sudah mncapai jarak-jarak diatas. Sesungguhnya Nabisaw tidak pernah berpergian ketika waktu shalat sudah tiba, kecuali dia sudah mengerjakan shalat, jadi mengerjakan shalat selanjutnya setelah tiba di Madinah.
            Sedangkan hadis Syurahbil, yang menyatakan bahwa Umar r.a shalat di Dzul Khulaifah dengan 2 rakaat, dapat ditarik kemungkinan bahwa dalam hadis Anas, ketika Umar bepergian ke Mekkah dengan melewati Dzul Hulaifah, dan aku mendapatinya shalat dengan 2 rakaat, karena Dzul Hulaifah adalah tujuan perjalanannya.
            Yang lebih afdal/utama adalah tidak mengqashar shalat bila bepergian dngan jarak tempuhnya kurang 3 hari (3 marhalah), hal ini berbeda dengan pendapat Abu Hanifah dan yang sependapat. Mengqashar shalat apabila bepergian  dalam jarak tempuh ini di perbolehkan menurut Syafii dan ulama-ulama yang sependapat. Hal ini berlainan dengan pendapat pertama yakni pendapat ulama-ulama Hanafiyah tenteng kebolehan qashar shalat ketika bepergiandengan jarak tempuh 3 hari.[5]



[1] Abdul Hamid, Fikih Ibadah, LP2 STAIN CURUP, CURUP, 2011, Hal.100
[2] Q.S: An-Nisa’: 101.
[3] Abdul Hamid, Fikih Ibadah, LP2 STAIN CURUP, CURUP, 2011, Hal.101
[4] Said Agil Husin Al Munawar. Membangun Metodologi Ushul Fiqh: Telaah Konsep Al-Karahah dalam Istimbath Hukum Islam, Ciputat Press, Jakarta, 2004, hal. 344-347

[5] Hal.348-340
|
This entry was posted on 17.29 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: