•17.06
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syariat Islam digunakan untuk mewujudkan kebenaran dan
keadilan, menyingkirkan kejahatan dan menyingkirkan kemadharatan. Ia memiliki
aturan yang lurus dan hukum-hukum yang adil demi tujuan yang terpuji dan maksud-maksud
yang mulia. Pengaturannya didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dan sesuai
dengan hikmah dan kebenaran. Karena itulah ketika ada persekutuan dalam
benda-benda yang tidak bergerak (seperti tanah dan rumah), seringkali terjadi
kerusuhan dan menjurus kapada tindak kejahatan sehingga sulit dilakukan
pembagian terhadap barang itu, maka pembuat syari’at yang bijaksana menetapkan
Syuf’ah bagi sekutu atau mitra usaha.
Dengan kata lain, jika salah seorang dari dua sekutu
menjual bagiannya dari benda-benda yang tidak bergerak dan menjadi persekutuan
diantara keduanya, maka bagi sekutu yang tidak menjual, dapat mengambil bagian
dari pembeli dengan harga yang sama, sebagai upaya untuk menghindarkan
kerugiannya karena persekutuan itu. Hal ini berlaku bagi seorang sekutu selagi
benda-benda yang tidak bergerak yang disekutukan belum dibagi, tidak diketahui
batasan-batasannya dan tidak dijelaskan jalan-jalannya. Tapi jika
batasan-batasan dan garis-garis pemisahnya diketahui antara dua bagian dan
jalan-jalannya dijelaskan, maka tidak ada Syuf’ah karena dampak persekutuan dan
percampur adukan hak milik sudah tidak ada, yang karenanya ada penetapan
terhadap permintaan hak untuk melepaskan barang yang dijual dari pembeli. Dan
dalm makalah ini akan diulas lebih jelas lagi apa Syuf’ah itu, dan bagaimana
filsafah dari Syuf’ah itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan Asy-Syuf’ah?
2. Landasan hukum apa yang di pakai adanya Syuf’ah?
3. Apa saja rukun dalam Syuf’ah?
4. Serta apa saja syarat dalam Syuf’ah?
5. Adakah pewaris di dalam Syuf’ah itu?
6. Jelaskan filsafat Syuf’ah?
7. Apa hikmah dengan adanya Syuf’ah?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah:
1. Mengetahui definisi dari Asy-Syuf`ah.
2. Mengetahui landasan hukum yang dipakai Syuf’ah.
3. Mengetahui rukun-rukun serta syarat-syarat dalam Syuf’ah.
4. Mengetahui pewarisan dalam Syuf’ah.
5. Mengetahui filsafat Syuf’ah.
6. Mengetahui hikmah adanya Syuf’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Syuf’ah
Asy-Syuf’ah berasal dari
kata Asy-Syaf’u yang berarti Adh-Dhammu (menggabungkan), hal ini dikenal
di kalangan orang-orang Arab. Pada zaman jahiliyah, seseorang yang akan menjual
rumah atau kebun didatangi oleh tetangga, partner (mitra usaha) dan sahabat
untuk meminta Syuf’ah (penggabungan) dari apa yang dijual. Kemudian ia
menjualkannya, dengan memprioritaskan yang lebih dekat hubungannya daripada
yang lebih jauh. Pemohonnya disebut sebagai Syafi’.[1][1]
Sedangkan menurut syara’
Syuf’ah adalah, pemilikan barang Syuf’ah oleh Syafi’ sebagai pengganti dari
pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai
yang biasa dibayar oleh pembeli lain.[2][2] Berbeda dengan para ulama menafsirkan al-syuf’ah adalah sebagai berikut :
“Hak memiliki sesuatu secara paksa
ditetapkan untuk syarik terdahulu atas syarik yang baru disebabkan adanya
syirkah dengan penggantian (i’wadh) yang dimilikinya, disyariatkan untuk
mencegah kemudharatan.”
2. Menurut Sayyid sabiq, al-syuf’ah ialah pemilika benda-benda syuf’ah oleh
syafi’i sebagai pengganti dan pembeli denan membayar harga brang kepada
pemiliknya sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.[4][4]
3. Menurut Idris ahmad,[5][5] Al-syuf’ah ialah
hak yang tetap secara paksa bagi syarikat lama atas syarikat barudengan jalan
ganti kerugian pada benda yang menjadi milik bersama.
Setelah diketahui ta’rif-tar’rif
yang dikkemukakan oleh para ulama beserta contohnya, kiranya dapat dipahami
bahwa al-syuf’ah ialah pemilikan oleh seorang syar’riq dan dua orang atau pihak
yang berserikat dengan paksaan terhadap benda syirkah.
Dari pengertian
para ulama- ulama tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa as-syuf’ah adalah
penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak lain supaya
dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota perserikatan
(syarikah). Dalam kerangka inilah, syuf’ah berarti pemilikan barang yang
diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan
milik secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti nilai harga
jual yang sudah dilakukan [6][6].
Dengan istilah
lain dapat pula dikatakan bahwa syuf’ah adalah pemilikan harta perserikatan
yang telah dijual oleh salah satu pihak ke pihak lain yang tidak termasuk dalam
persekutuan itu serta tidak pula seizin anggota persekutuan dengan cara
mengganti uang penjual ke pihak pembeli. Dengan demikian syuf’ah tidak bisa
dilakukan oleh orang yang tidak tergabung dalam perserikatan (syarikah), atau
syuf’ah juga tidak bisa dilakukan oleh syafi’ terhadap penjualan milik bersama
oleh perseorangan bila penjualan itu dilakukan setelah memperoleh persetujuan
atau kerelaan anggota perserikatan (syarikah) terlebih dahulu atau karena
ketidak sanggupan para pemilik untuk membeli atau mengganti hak milik anggota
yang menjual miliknya itu.
Di sisi lain,
anggota persekutuan yang ingin melepaskan haknya dari anggota pemilikan bersama
itu berkewajiban terlebih dahulu menawarkan kepada para pemegang hak
perkongsian. Jika tidak ditawarkan terlebih dahulu maka, orang orang yang
terlibat dalam syarikah selain yang menjual haknya, dapat melakukan syuf’ah.
قَضاى رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُفْعَةِ فِى كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ رُبْعَةٌ
أَوْحَاءِطٌ لاَيَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبِيْعَ حَتّى يُٶذِنَ شَرِيْكُهُ فَإِنْ شَآءَ
أَخَذَ وَإِنْ شَآءَ تَرَكَ فَاإِذَا بَاعَ وَلَمْ يُٶْذِنْهُ فَهُوَ اَحَقُّ بِه
“Rasulullah saw telah menetapkan adanya hak syuf’ah atas tiap perserikatan
terhadap rumah atau kebun. Tidak dihalalkan seorang diantara anggota persekutuan
itu menjual barang yang mereka miliki sebelum izin perserikatannya. Jika
seorang anggota perserikatan itu ingin (membeli hak hak yang akan dijual oleh
partnernya) maka ia boleh mengambil dan bila ia tidak berminat, ia pun boleh
meninggalkannya. Jika penjualan itu berlangsung tanpa seizin para koleganya
dalam pemilikan itu, maka para anggota perserikatan itulah yang paling berhak
atas bagian yang dijual tersebut”.[7][7]
B.
Landasan Hukum Al- Syuf’ah
Dasar hukum Syuf’ah adalah as-Sunnah,
dan umat Islam telah sepakat akan
pensyariatannya, diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini:
Dari Bukhari meriwayatkan dari Jabir
bin Abdullah, bahwa Rasulullah saw.menetapkan Syuf’ah untuk barang yang
pembagian kepemilikannya belum jelas (untuk barang yang belum dipecah). Apabila
telah ada had (batasan) secara jelas dan dapat dibedakan, maka tidak
lagi berlaku Syuf’ah.[8][8](Shahih:
Shahih Ibnu Majah no: 2028, Fathul Bari IV: 436 no: 2257 dan lafadz ini milik
Imam Bukhari, ’Aunul Ma’bud IX: 425 no: 3497, Ibnu Majah II: 835 no: 2499 dan
Tirmidzi II: 413 no: 1382 tanpa kalimat terakhir).
Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw.
bersabda, “Barangsiapa mempunyai (kebun) kurma, atau sebidang tanah, maka ia
tidak boleh menjualnya sebelum menawarkannya kepada rekan sekongsinya.”
(Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2021 dan Ibnu Majah II: 833 no: 2492 dan Nasa’i
VII: 319).[9][9]
Dari Abu Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah
saw bersabda, “Kawan sekongsi itu lebih berhak atas apa yang dekat dengan
dia.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 2027 dan Ibnu Majah II: 834 no: 2498).[10][10]
C. Rukun dan Syarat-syarat Al-Syuf’ah
Barang yang diambil (sebagian yang sudah diambil), syaratnya keadaan barang
tidak bergerak. Menurut Mohd saramadan
akmal, “Syuf’ah (co-ownership) is only applicable to immovable property (aqar).
A B - owned by 2 person, A and B -B wants sell to C -B must ask A first -if B
not asking, there will several problems occurred. If the property is movable
(manqul), most of jurist said that syuf’ah can’t be applied”. [12][12]Adapun barang yang bergerak
berarti dapat dipindahkan, dan tidak berlaku padanya Syuf’ah, melainkan dengan
jalan mengkuti kepada yang tidak bergerak.
Orang yang mengambil barang (partner lama); disyari’atkan keadaannya orang
yang tidak bersyari’at pada zat yang diambil, dan memiliki akan bagiannya. Maka
tetangga tidak berhak mengambil Syuf’ah menurut madzhab Syafi’i, begitu juga
yang bersyari’at pada manfaat, dan orang yang mempunyai hak pada harta wakaf.
Yang dipaksa (partner baru); syaratnya keadaan barang dimilikinya dengan
jalan bertukar, bukan dengan jalan pusaka atau wasiat ataupun pemberian.
Barang yang di Syuf’ahkan berbentuk barang tak bergerak, seperti: tanah,
rumah dan yang berkaitan dengannya secara tetap, misalnya: tanaman, bangunan,
pintu-pintu, atap-atap rumah, dan semua yang termasuk dalam penjualan pada saat
dilepas.
Berdalil kepada hadits dari Jabir r.a.:
قَضَى رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فىِ كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ
تُقْسَمْ : رُبْعَةٍ أَوْحَائِطٍ.
“Rasulullah menetapkan
Syuf’ah untuk segala macam barang syirkah (perseroan) yang tidak dapat
dibagi-bagi seperti: rumah atau kebun”.
Berbeda dengan pendapat penduduk Makkah dan
ad-Dhahiriyah, serta suatu riwayat dari Ahmad. Mereka mengatakan: “Bahwa
Syuf’ah berlaku untuk segala jenis”. Karena bahaya yang mungkin dapat
terjadi pada partner dalam jual-beli barang tak bergerak, dapat pula
terjadipada barang yang dapat dipindahkan. Mereka berdalil kepada hadits yang
diriwayatkan oleh Jabir:
قَضَى رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فىِ كُلِّ شَيْئٍ
“Rasulullah menetapkan
Syuf`ah untuk segala jenis”.
Dalil lain adalah hadits
riwayat Ibnu Abbas r.a., bahwa Nabi saw., bersabda:
اَلشُّفْعَةُ
فِيْ كُلِّ شَيْئٍ
“Syuf’ah berlaku untuk segala jenis”.
Ath-Thahawi
mengeluarkan kesaksian dari hadits Jabir dengan isnad yang dapat dipercaya, dan
Ibnu Hazm mendukung hadits ini. Ia mengtakan: “Syuf’ah wajib pada setiap
penjualan barang musya’ yang tidak dapat dibagi antara dua orang atau lebih, dalam bentuk apapun yang pada awalnya terbagi-bagi
berupa, tanah pohon (satu atau lebih), budak pria, budak wanita, pedang,
makanan, binatang atau apa saja yang tidak dapat dijual”.
Orang yang membeli secara
Syuf’ah, adalah partner dalam barang tersebut. Dan perkongsian mereka lebih
dulu terjalin sebelum penjualan, dan tidak adanya perbedaaan batasan antara
keduanya, hingga barang itu menjadi milik mereka berdua secara bersamaan. Dalil yang disyaria’atkan assuf’ah
adalah dari sunnah dan kesepakatan ulama, adapun dari sunnah ada hadist yang
banyak, diantarannya:[14][14]
Dari Jabir r.a., berkata:
قَضَى رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فىِ كُلِّ ماَلَمْ يُقْسَمْ,
فَإِذاَوَقَعَةِالْحُدُوْدُوَصُرِّفَتِّ الطُّرُقُ فَلاَ شُفْعَةَ (رواه الخمسة)
“Rasulullah menetapkan
Syuf’ah untuk segala jenis yang belum dibagi/dipecah. Dan apabila terjadi had
(batasan hak) kemudian pembedaan hak sudah jelas, maka tidak ada lagi Syuf’ah”.
Riwayat Al-Khamsah.
Artinya bahwa
Syuf’ah yang berlaku untuk semua jenis barang Musytarak (bersama) yang
menjadi milik telah dilakukan diantara keduanya, maka tidak ada lagi Syuf’ah.
Jika
didalam Syuf’ah berlaku untuk perkongsian, maka sesungguhnya dia berlaku untuk
barang yang dapat dibagi. Partner dipaksakan untuk membagi dengan syarat ia
dapat memanfaatkan bagiannya itu, seperti ketika barang tersebut belum dibagi.
Oleh karena itu, Syuf’ah tidak berlaku untuk barang yang apabila dibagi/dipecah
manfaatnya menjadi tidak ada.
Barang yang di Syuf’ahkan keluar dari pemilikan tuannya dengan jalan
penggantian harta, seperti dijual atau yang berpengertian dijual seperti
pengakuan (pernyataan) dengan jalan damai, atau karena adanya faktor jinayat,
atau hibah dengan penjualan dengan cara tertentu. Karena pada hakekatnya ini
adalah penjualan. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa Syuf’ah hanya berlaku bagi
barang yang dijual saja, dengan berlandaskan pada makna lahiriah hadits dalam
Bab ini.
Syafi` meminta dengan segera.
Maksudnya, bahwa
Syafi’ jika telah mengetahui penjualan ia wajib meminta dengan segera, jika hal
itu memungkinkan. Jika ia telah menegetahuinya lalu mengulur waktu tanpa
adanya halangan, maka haknya menjadi gugur.[15][15]
Sebabnya, karena jika Syafi’ memintanya dengan segera atau ia memperlambat
permintaannya, hal ini akan berbahaya bagi si pembeli. Kerena pemilikanya
terhadap barang yang dijual tidak sesuai (stabil) dan tidak memungkinkan ia
bertindak untuk membangunnya, karena takut tersia-sia oleh usaha dan karena ia
takut diambil segera Syuf’ah.
Syafi’
menyerahkan kepada pihak pembeli sejumlah harga sesuai yang telah diakadkan.
Kemudian Syafi’ mengambil Syuf’ah harga yang sama, apabila jual beli itu Mitslian,
atau dengan suatu nilai yang dihargakan. Di dalam hadits Marfu` dari Jabir:
هُوَأَحَقُّ بِهِ بِاالثّمَنِ (رواه الجوزجان)
“Dia (syafi’) lebih berhak dengan
harga”. Riwayat Al-Jauzjani
Bila ia tidak mampu
menyarahkan keseluruhan harga, gugurlah Syuf’ah. Imam Malik dan mazdhab Hanbali
berpendapat: “Bahwa apabila harga itu ditangguhkan semuanya atau sebagiannya,
maka Syafi’ boleh menangguhkannya, atau membayarnya secara kredit sesuai dengan
akad di awal.
Syafi’
mengambil semua transaksi jual beli atas barang. Apabila Syafi’ mengambil
sebagian saja, maka gugur haknya secara keseluruhan. Dan apabila Syuf’ah
terjadi antara lebih dari satu orang Syafi’, sebagian mereka melepaskannya, untuk
yang sebagian lagi tak lain kecuali mengambil keseluruhannya. Hal ini
dimaksudkan agar barang tidak terpilah-pilah atas pembeli.
Masyfu’ min hu, yaitu orang yang mengambil syuf’ah.
Disyaratkan pada masyfu ‘min hu bahwa ia memiliki benda telebiih dahulu
secara syarikat, contohnya ialah Umar menjual dan Rahmat memiliki sebuah rumah
secara syarikat. Umar menjual miliknya kepada Zakaria, waktu khiarnya hingga
tanggal 20 januari 1992. Kemudian Rahmat menjual pula haknya kepada Fatimah.
Maka zakaria dapat melakukan tindakan Syuf’ah pada Fatimah.
Dan ada juga
orang yang harus menjual yang disebut al masyfuu’ fiih. Syarat - syaratnya
yaitu bahwa orang yang harus menjual kembali barang syuf’ah kepada anggota
syarikah ialah orang yang menerima pemindahan milik anggota syarikah melalui
jual beli atau dari tetangga, bagi yang mengakui adanya hak syu’ah bagi
tetangga. Adapun pemindahan hak milik yang bukan dengan cara jual beli,
diperselisihkan oleh para fuqaha.
Adapun cara melakukan syuf’ah
dengan syarat – syarat sebagai berikut :
a. syuf’ah
haruslah dilakukan secepat mungkin, dalam artinya bahwa syaafi’ hendak
melakukan syuf’ah maka ia mestilah melaksanakan setelah ia mengetahui adanya
pemindahan hak milik oleh anggota persekutuannya. Bila ia memperlambat
pelaksanaan syuf’ah tanpa suatu halangan yang bisa diterima, maka hak syuf’ah
akan menjadi gugur.
b. Adapun kadar
ukuran syuf’ah, disepakati oleh para ulama bahwa jumlahnya mestilah sama denga
harga jual yang dilakukan oleh anggota perserikatan dengan pembeli, serta tidak
boleh kurang.
D. Pewarisan Al-Syuf’ah
Imam Malik dan Syafi’i berpendapat
bahwa Syuf’ah dapat diwariskan dan tidak batal karena kematian. Apabila
sesorang memperoleh hak Syuf’ah, kemudian ia meninggal dunia sebelum hak itu
atau ia sudah mengetahuinya lalu meninggal dunia sebelum sempat mewariskan
haknya itu kepada ahli waris, maka hukumnya dianalogikan dengan kasus yang sama
dalam persoalan harta benda.
Imam Ahmad mengatakan: “Tidak
diwariskan, kecuali jika mayit menuntutnya”. Dan para pengikut madzhab Hanafi
mengatakan: Bahwa hak ini tidak dapat diwariskan, dan juga tidak dapat dijual
sekalipun mayit menuntut Syuf’ah, kecuali jika hakim telah memutuskannya dan
kemudian ia meninggal dunia.[16][16]
E.
Filsafah
Al-Syuf’ah
Kita semua tahu bahwa segala perintah atau aturan
baik itu bersifat samawi (berasal dari Tuhan) maupun ardhi
(buatan manusia) menyatakan adanya Syuf’ah.
Syariat Nabi Muhammad yang terang benderang
memperbolehkan dan menetapkan hal ini karena adanya beberapa faedah.
Penjelasannya bahwa ada salah satu dari dua orang
yang bersekutu dan ingin menjual bagian dari rumah atau tanahnya. Kemudian
datanglah seorang pembeli yang barangkali adalah musuh bagi sekutu yang lain
dan membeli bagian ini kemudian bersandingan (bertetangga) dengannya. Dan,
kalian tahu bahwa kebanyakan tetangga apabila tidak memenuhi kriteria yang
ditentukan akan mengakibatkan kebencian dalam jiwa dan rasa dengki dalam hati.
Terlebih jika ada rasa iri dari tetangga. Maka, secara tidak langsung seseorang
telah menyakiti teman sekutunya yang lain dengan adanya tetangga ini.[17][17]
Barangkali orang yang membeli itu berakhlak jelek
dan jiwanya buruk yang tidak mengetahui hak tetangga, maka hal itu akan
menyakiti tetangganya. Rasulullah telah bersabda :
مَازَالَ جِبْرِيْلُ
يُوَصِّنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Malaikat Jibril selalu
berpesan kepadaku untuk senantiasa berbuat baik kepada tetangga, sehingga aku
menyangka bahwa tetangga itu akan menjadi ahli waris”.
Beliau
juga bersabda,
مَنْ
كَانَ يُؤْمِنَ بِااللهِ وَاْليَوْمِ الْاَخِرِ فَالْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barangsiapa yang beriman
kepada Allah da n hari akhir, maka hedaklah ia memuliakan tetangganya.”
Barangkali tetangganya membutuhkan bagian ini, misalnya
untuk dijadikannya sebagai rumah, atau barang kali tokonya sempit dan ingin
memperluasnya, atau tanah itu bersebelahan dengan tanah pertaniannya dan ia
sangat membutuhkannya. Demikianlah di antara hal-hal yang memberi faedah kepada
tetangga.
Oleh karena itu, Al-Syari'
yang bijaksana menjadikan dan memperbolehkan Syuf’ah. Seorang
tetangga atau sekutu memiliki hak dalam prioritas atau hak lebih dahulu
daripada yang lainnya kecuali jika haknya tersebut gugur dengan adanya halangan
untuk membeli. Adapun mengenai tipu daya yang rusak atau batil yang dijadikan
pembeli untuk menyakiti tetangga, maka Al-Syari' mengecamnya dan tidak ridha
sama sekali. Namun, apabila tipu daya itu berisi tentang penghilangan bahaya,
maka diperbolehkan secara syara.[18][18]
F. Tindakan Pembeli
Tindakan
pembeli terhadap harta sebagia Syafi’i menerima syuf’ah dinyatakan sah karena
ia bertindak terhdap miliknya. Jika suatu ketika pembeli menjualnya lagi kepada
orang lain, syafi’i berhak melakukan syuf’ah terhadap salah satu dari dua
penjualan. Jika pembeli harta mengibahkannya, mewakafkannya, menyedekahkannya
atau yang sejenisnya, Syafi’i kehilangan hak syuf’ahnyasebab pemilikan barang
tersebut tanpa ganti.
Tindakan
pembeli yang telah didahului oleh tindakan syuf’ah oleh Syafi’i adalah bathil
sebab Syafi’i telah melaksanakan haknya dan ada kemungkinanpembeli bermaksud
mempermainkan hak Syafi’i. Apabila seseoran berdamai dalam masalah syuf;ah
aatau menjalnya dari pembeli, menurut al-syafi’i perbuatan tersebut dinyatakan
bathal dan menggugurkan hak syuf’ahnya serta berkewajiban mengembalikan
benda-benda yang telah diambil. Menurt Imam Hanafi, Maliki dan Hanbali
perbuatan itu sah dan dia berhak memiliki apa yang telah dia usahakan untuk dia
miliki dari pembeli.
G.
Hikmah
Al-Syuf’ah
Islam mensyari’atkan Syuf’ah untuk
mencegah kemadharatan dan menghindari permusuhan. Karena hak kepemilikan Syafi’
dari pembelian orang lain (pihak lain) akan dapat mencegah kemungkinan adanya
kemudharatan dari orang lainyang baru saja ikut serta. Imam Syafi’i memilih
pendapat bahwa yang di maksud dengan madharat (bahaya) adalah kerugian
biaya pembagian, risiko adanya pihak baruyang ikut serta dan lainnya. Ada juga
ulama yang berpendapat bahwa maksud kemadharatan adalah risiko persekutuan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Syuf’ah adalah pemilikan
barang syuf’ah oleh Syafi’ sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga
barang kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli
lain.
Jika didalam Syuf’ah berlaku untuk perkongsian, maka sesungguhnya dia
berlaku untuk barang yang dapat dibagi. Partner dipaksakan untuk membagi dengan
syarat ia dapat memanfaatkan bagiannya itu, seperti ketika barang tersebut
belum dibagi. Oleh karena itu, Syuf’ah tidak berlaku untuk barang yang apabila
dibagi/dipecah manfaatnya menjadi tidak ada.
Penjelasannya bahwa ada salah satu dari dua orang
yang bersekutu dan ingin menjual bagian dari rumah atau tanahnya. Kemudian
datanglah seorang pembeli yang barangkali adalah musuh bagi sekutu yang lain
dan membeli bagian ini kemudian bersandingan (bertetangga) dengannya. Dan,
kalian tahu bahwa kebanyakan tetangga apabila tidak memenuhi kriteria yang
ditentukan akan mengakibatkan kebencian dalam jiwa dan rasa dengki dalam hati.
Terlebih jika ada rasa iri dari tetangga. Maka, secara tidak langsung seseorang
telah menyakiti teman sekutunya yang lain dengan adanya tetangga ini.
4 10
0 komentar: