Author: Unknown
•16.53


 MAKALAH MAUDHU’I
Takaran dan Timbangan’’
Diajukan sebagai tugas kelompok
Tafsir Ayat-Ayat Iqtishadi
Pada Prodi Perbankan Syari’ah IV/B



   
Disusun Oleh Kelompok 12:
Wida Yusari (13631057)
Zahratul Sahada (13631150)

EPI 4 B

Dosen Pengampu:
Hardivizon, M.Ag

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH
SKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN CURUP)
2015

PENDAHULUAN

Kecurangan dalam menakar dan menimbang ini telah merajalela dalam masyarakat sehingga mereka tidak pernah memenuhi takaran yang sebenarnya kepada pembeli. Salah satu cara yang ditempuh adalah menggunakan takaran besar saat pedagang membeli barang-barang dari orang lain, dan menggunakan takaran kecil saat ia menjual kembali kepada konsumen, atau anak timbangannya dikurangi beratnya. Perilaku tidak terpuji ini bagi sementara orang dianggap sah-sah dan dengan cara ini pula dapat meraut keunrungan berlipat ganda dalam waktu singkat. Padahal keuntungan yang diperoleh dengan cara ini tidak terpuji dan akan merusak mekanisme pasar dan transaksi jual beli serta menjatuhkan harga dirinya karena ketidakjujuran yang dilakukan. Karena itu Allah SWT mengutuk perilaku ini dengan kata wailun (celakalah).
Menegakkan keadilan itu tidak hanya dituntut dalam hal yang berkaitan dengan perbuatan dan ucapan atau kedua-keduanya sekaligus, tetapi juga diperintahkan dalam transaksi bisnis, sebagaimana termaktub dalam firman Allah Surah Al-Mutafiffin ayat 1-3.
Para khalifah sesudah Nabi (khulafaurrasyidin) juga menerapkan keadilan hingga terhadap diri mereka sendiri. Misalnya, sebuah riwayat menceritakan bahwa suatu hari Khalifah Umar bin Khaththab melewati pasar sambil membawa tongkat pendeknya yang populer dengan nama “Durrah. Dengan tongkat ini Umar menundukkan seorang yang bernama Salamah, sereya berucap: ”minggirlah dari jalan!” selah beberepa waktu ia pun merenungkan kejadian itu, dan menyesali sikap kerasnya terhadap seseorang. Maka pada tahun berikutnya, ia meminta maaf kepadak Salamah sambil memberi uang 600 dirham untuk biaya menunaikan ibadah haji, dan berkata kepadanya: “ini adalah sbagai ganti dari pukulan yang aka pukulkan kepadamu”. Maka Salamah berkata: “wahai Amirul Mukminin, aku teah melupakannya”. Umar menjawab: “Tapi aku tidak melupakannya.”
Ayat 1-3 pada surat Al-Mutaffifin ini menegaskan tentang kecelakaan dan kerugian besar di dunia dan akhirat akan ditimpakan bagi orang-orang yang curang, yaitu mereka yang apabila menerima takaran dan timbangan atas yakni dari orang lain, mereka minta dan menuntut secara sungguh-sungguh agar dipenuhi, atau bahkan cenderung minta dilebihkan. Apabila mereka menakar atau menimbang untukk orang lain, mereka berbuat curang dengan mengurangi timbangan dan takaran dari apa yang mestinya mereka berikan. Kecelakaan, kebinasaan, dan kerugian akan dialami oleh yang melakukan kecurangan dalam interaksi ini. Itu dapat dirassakan oleh pelaku perddagangan, maka pada akhirnya yang bersedia berinteraksi dengannya hanyalah orang-orang yang melanjutkan hubungan dengannya. Sikap semacam ini adalah pangkal kecelakaan dan kerugian duniawi.
Penyempurnaan takaran dan timbangan oleh ayat di atas dinyatakan baik dan lebih bagus akibatnya. Ini karena penyempurnaan takaran dan timbangan melahirkan rasa aman, ketentramann dan kesejahteraan hidup bermasyarakat. Kesemuanya dapat tercapai melalui keharmonisan hubungan antar anggota masyarakat, antara lain bisa masing-masing memberi apa yang berlebih dari kebutukhannya dan menerima yang seimbang dengan haknya. Inii tentu saja memerlukan rasa aman menyangkut alat ukur, baik takaran maupun timbangan. Siapa yang membenarkan, mengurangi hak seseorang akan mengantarkannya pada sikap membenarkan perlakuan serupa kepada siapa saja, dan ini mengantarkan kepada tersebarnya kecurangan. Bila itu terjadi, rasa aman tidan akan tercipta dan tentu saja tidak berakibat baik bagi perorangan dan masyarakat.


PEMBAHASAN

A.      Ayat AL-Mutaffifin
×@÷ƒur tûüÏÿÏeÿsÜßJù=Ïj9 ÇÊÈ tûïÏ%©!$# #sŒÎ) (#qä9$tGø.$# n?tã Ĩ$¨Z9$# tbqèùöqtGó¡o ÇËÈ #sŒÎ)ur öNèdqä9$x. rr& öNèdqçRy¨r tbrçŽÅ£øƒä ÇÌÈ
B.       Terjemahan
Artinya :
1.        Ancaman dengan neraka wail bagi orang yang curang dalam timbangan, ukuran, sukatan dan sebagainya.
2.        Mereka yang jika menerima takaran dari orang lain minta penuh cukup.
3.        Dan jika mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka merugikan, mengurangi.


C.           Kata Kunci
ûüÏÿÏeÿsÜßJù=Ïj : secara kebahasaan kata Al-Mutaffifin merupakan bentuk plural dari kata al-Mutaffif yang berarti orang yang curang dalam menimbang atau menakar ketika berdagang. Kata al-tafif artinya sesuatu yang sedikit , kecil. Al-Mutaffifin adalah orang lain baik dalam timbangan atau takaran. Dalam konteks yat ini, Allah mengancam akan memberikan siksa yang amat pedih kepada orang-orang yang curang dalam menimbang dan atau menakar ketika bertransaksi jual beli.



D.       Penafsiran
1.        Tafsir ayat 1
a.    Kementrian Agama RI
Azab dan kehinaan yang besar pada hari kiamat disediakan bagi orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang. Allah telah menyampaikan ancaman yang pedas kepada orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang yang terjadi di tempat-tempat jual beli di Mekah dan Madinah pada saat itu.
Diriwayatkan bahwa di Madinah ada seseorang laki-laki bernama Abu Juhaniah. Ia mempunyai dua macam takaran yang besar dan yang kecil. Bila ia membeli gandum atau kurma dari para petani, ia mempergunakan takaran yang besar, akan tetapi jika ia menjual kepada orang lain ia mempergunakan takaran yang kecil.
Perbuatan seperti itu menunjukkan adanya sifat tamak. Ingin mencari keuntungan bagi dirinya sendiri walaupun dengan jalan merugikan orang lain. Terhadap orang seperti itu, nabi Muhammad telah memberi ancaman yang pedas sekali seperti tersebut dalam hadis ini, yang artinya: Ada lima perkara yang dibalas dengan lima perkara: Tidak pernah suatu kaum yang melanggar janji, melainkan Allah akan membiarkan kaum itu dikuasai musuhnya. Tidak pernah mereka yang memutuskan perkara dengan hukuman yang tidak diturunkan oleh Allah . melainkan akan tersebar luaslah kefakiran dikalangan mereka. Perzinaan tidak pernah meluas dikalangan mereka secara luas, melainkan akan tersebar luaslah bahaya kematian. Tidak pernah mereka yang berbuat curang dalam menakar dan menimbang, melainkan mereka akan kehilangan kesuburan tumbuh-tumbuhan dan ditimpa musim kemarau. Dan tidak pernah mereka yang menahan zakat, melainkan akan diazap dengan ditahannya hujan (kemarau yang panjang). (Riwayat at-Tabrani dari Ibnu ‘Abbas). [1]

b.    Universitas Islam Indonesia
Azab dan kehinaan yang besar pada hari kiamat disediakan bagi orang-orang yang curang dalam menakar dan menabung.
Allah SWT telah menyampaikan ancaman yang pedas kepada orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang yang terjadi di tempat-tempat jual beli di Mekah dan Madinah pada waktu itu.
Diriwayatkan bahwa di Madinah ada seorang laki-laki bernama Abu Juhainah. Ia mempunyai dua macam takaran yang besar dan yang kecil. Bila ia membeli gandum atau kurma dari para petani ia mempergunakan takaran yang besar, akan tetapi jika ia menjual kepada orang lain ia mempergunakan takaran yang kecil. Perbuatan seperti itu menunjukan adanya sifat tamak, ingin mencari keuntungn bagi dirinya sendiri walaupun dengan jalan merugikan kepada orang lain.
Terhadap orang seperti itu Nabi Muhammad saw. Telah ,e,beri ancaman yang pedas sekali seperti tersebut dalam hadis Rasulullah yang artinya, “Ada lima perkara yang dibalas dengan lima perkara: Tidak pernah suatu kaum yang melanggar janji, melainkan Allah akan membiarkan kaum itu dikuasai musuhnya. Tidak pernah mereka yang memutuskan perkara dengan hukuman yang tidak diturunkan oleh Allah . melainkan akan tersebar luaslah kefakiran dikalangan mereka. Perzinaan tidak pernah meluas dikalangan mereka secara luas, melainkan akan tersebar luaslah bahaya kematian. Tidak pernah mereka yang berbuat curang dalam menakar dan menimbang, melainkan mereka akan kehilangan kesuburan tumbuh-tumbuhan dan ditimpa musim kemarau. Dan tidak pernah mereka yang menahan zakat, melainkan akan diazap dengan ditahannya hujan (kemarau yang panjang). (Riwayat at-Tabrani dari Ibnu ‘Abbas). [2]

c.     Ibnu Katsier
Ibn Umar r.a. berkata: Rasulullah saw. Bersabda: yauma yaqu munnaasu li rabbil alamiin hatta yaghiba ahaduhum fi rasy hihi ilas anshaa fi udzunaihi: Pada hari ketika semua manusia menghadap di hadapan Tuhan semesta alam sehingga seseorang tenggelam dalam peluh keringatnya sampai telinga. (R. Malik, Bukhari)
Diriwayatkan bahwa di kota Madinah ada orang disebut Abu Juhaniah ia mempunyai dua alat timbangan kecil dan besar, maka bila ia membeli, ia mempergunakan timbangan yang besar, bila menjual menggunakan timbangan yang kecil.
Di dalam ayat-ayat ini allah mengancam dengan keras, atau neraka wail terhadap orang-orang yang mencuri dalam timbangan, ukuran, meteran, literan dan sebagainya, yang sengaja akan merusak kepercayaan orang dalam perdagangan, yang terang-terang melanggar amanat kejujuran diharuskan bagi tiap orang beragama menurut tuntutan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Sehingga ditanya: apakah mereka tidak menyangka, mengira atau merasa bahwa mereka kelak akan dibangkitkan untuk menghadap kepada Allah Tuhan semesta alan dan akan membalas semua amal kelakuan mereka yang baik meupun jahat buruk. Dan disaat hanya ada dua macam pahala dan siksa, surga dan neraka. [3]

2.        Tafsir ayat 2 dan 3
a.    kementrian Agama RI
Dalam dua ayat ini, Allah menjelaskan perilaku orang yang akan menjadi penghuni neraka. Mereka adalah orang-orang yang ingin dipenuhi takaran dan timbangannya ketika membeli karena tidak mau rugi. Sebaliknya, apabila menjual kepada orang lain, mereka akan mengurangi takaran atau timbangannya.
Orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan menddapat dosa yang besar karena dengan perbuatan itu, dia dianggap telah memakan harta orang lain tanpa kerelaan pemiliknya. Allah melarang perbuatan yang demikian itu. Allah berfirman, yang artinya: “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil. (al-Baqarah/2: 188).
Yang dimaksud dengan takaran disini mencakup segala ukuran dan timbangan yang biasa dipakai dalam jual beli dan terkait dengan pengurangan hak orang lain. Banyak sekali kita jumpai dalam kehidupan sekarang pengurangan-pengurangan yang merugikan orang lain, seperti menjual tabung gas yang isinya tidak sesuai dengan standar, mengurangi literan bensin yang dijual, penjual kain yang mengurangi ukuran kain yang dijualnya. Termasuk pengurangan takaran yang sangat merugikan dan berbahaya adalah koupsi. Pelaku korupsi mengurangi dana sebuah proyek dari perencanaan semula demi memperoleh keuntungan untuk diri sendiri, atau mengurangi kualitas bahan yang dipergunakan dalam proyek tersebut dan menggantinya dengan bahan yang berkualitas lebih rendah.
Ayat ini mengingatkan manusia untuk menjauhi praktek-praktek yang merugikan orang lain dan ancaman hukumannya sangat besar di dunia dan akhirat. Ayat senada yang menyuruh manusia untuk memenuhi dan menyempurnakan timbangan adalah firman Allah:
#qèù÷rr&ur Ÿ@øs3ø9$# #sŒÎ) ÷Läêù=Ï. (#qçRÎur Ĩ$sÜó¡É)ø9$$Î/ ËLìÉ)tFó¡ßJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur WxƒÍrù's? ÇÌÎÈ           
     Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, ddan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (al-Isra’/17: 35)[4]

b.    Universitas Islam Indonesia
Apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mempergunakan takaran atau timbangan yang kurang.
Ayat ini mencakup segala macam kekurangan dalam berbagai aspek dalam pergaulan hidup. Contohnya seorang majikan jika memperkerjakan buruhnya, ia berusaha supaya buruhnya itu bekerja keras semaksimal mungkin untuk memaksimalkan hasil peroduksinya yang membawa keuntungan besar. Akan tetapi jika ia sendiri menjadi buruh, ia selalu mencari kesempatan untuk mengaso atau istirahat dan menghindari pertanggungjawaban untuk melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Perbedaan sikap ini ketika menjadi majikan atau buruh hendaknya dihindari kecurangan agar supaya timbul sikap ssaling mempercayai antara kedua belah pihak. Kecurangan ini haris dihindarkan, baik mengenai perkara-perkara kecil, apalagi yang menyangkut kepentingan masyarakat dan negara.
Betapa besarnya dosa orang-orang yang memakan harta orang lain tanpa takaran dan timbangan yang benar, seakan-akan mereka memakan harrta orang lain dengan jelas kekuasaan dan kewibawaan dengan jalan mengomersilkan jabatan.
Tidak ragu-ragu lagi bahwa mereka itu dimasukkan golongan yang mendustakan hari pembalassan, walaupun lidah mereka berkata bahwa mereka itu mengaku orang-orang mukmin yang tulus ikhlas[5]
c.      Ibnu Katsier
Ibn Umar r.a. berkata: Rasulullah saw. Bersabda: yauma yaqu munnaasu li rabbil alamiin hatta yaghiba ahaduhum fi rasy hihi ilas anshaa fi udzunaihi: Pada hari ketika semua manusia menghadap di hadapan Tuhan semesta alam sehingga seseorang tenggelam dalam peluh keringatnya sampai telinga. (R. Malik, Bukhari)
Diriwayatkan bahwa di kota Madinah ada orang disebut Abu Juhaniah ia mempunyai dua alat timbangan kecil dan besar, maka bila ia membeli, ia mempergunakan timbangan yang besar, bila menjual menggunakan timbangan yang kecil.
Di dalam ayat-ayat ini allah mengancam dengan keras, atau neraka wail terhadap orang-orang yang mencuri dalam timbangan, ukuran, meteran, literan dan sebagainya, yang sengaja akan merusak kepercayaan orang dalam perdagangan, yang terang-terang melanggar amanat kejujuran diharuskan bagi tiap orang beragama menurut tuntutan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Sehingga ditanya: apakah mereka tidak menyangka, mengira atau merasa bahwa mereka kelak akan dibangkitkan untuk menghadap kepada Allah Tuhan semesta alan dan akan membalas semua amal kelakuan mereka yang baik meupun jahat buruk. Dan disaat hanya ada dua macam pahala dan siksa, surga dan neraka.[6]


Ada beberapa referensi buku yang membahas tentang takaran dan timbangan, yaitu sebagai berikut:       
Menegakkan keadilan dalam transaksi bisnis:           
Abdullah bin Zaid bin Aslam mendengar dari ayahnya bahwa kakeknya Aslam menuturkan, ketika kami sedang bersama Umar bin Khaththab berkeliling ditengah malam untuk memantau keadaan di kota Madinah, tiba-tiba ia bersandar pada tembok dan terdengarlah suara seseorang perempuan mengatakan kepadda puterinya: “ambillah susu itu dan campurlah dengan air”. Putrinya menjawab “ibu tidakkan engkau tahu bahwa Khalifah Umar bin Khaththab hari ini telah bertekat untuk memberantas kecurangan?” ia menjawab, “khalifah telah memerintahkann kepada seorang penyeru untuk mengumumkn kepada khalayak ramai agar tidak mencampur susu dengan air”. Ibunya telah bersikeras agar puterinya menccampur susu dengan air sebelum di jual, dengan mengatakan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab tidak akan melihat dan penyerunya juga tidak. Ia menjawabb lagi, “ibu, pantaskah aku menaatinya di depan orang, sementara menentangnya dari belakang?”
Sementara Khalifah Umar bin Khaththab beserta orang-orang yang bersamanya mendengar semua pembicaraan mereka, kemudian ia berkata, “Wahai Aslam panggillah Abdullah bin Zaid bin Aslam, berilah tanda di pintunya dann kenalilah tempat rumah itu.” Mereka lalu meneruskann perjalanan keliling hingga pagi hari. Nsetelah itu Khalifah Umar bin Khaththab memberi perintah kepada Abdullah bin Zaid bin Aslam agar ia mendatangi tempat tinggal perempuan itu untuk mencari tahu, siapa sebanarnya orang yang bebicara dan yang di ajak bicara?
Abdullah bin Zaid bin Aslam kemudian mendatangi rumah itu dan ternyat penghuninya adalah seorang perempuan janda, tidak mempunyai suami dan perempuan satunya lagi adalah putrinya, juga belum bersuami. Ia menyampaikan keadaan keluarga itu kepada Khalifah Umar bin Khaththab keadaan keluarga ini kepadda Umar bin Khaththab. Mendengar berita tentang keadaan keluarga mereka, Umar memanggil dan mengumpulkan Anak-Anaknya seraya berkata: “Apakah diantara kalian ada yang mau aku nikahkan dengan seseorang perempuan?”. Salah seorang putranya berucap.”Aku sudah mempunyai seorang istri”. Anak satunya lagi berucap:” aku juga sudah mempunyai seorang istri”. Sedangkann anak satunya lagi, Ashim menjawab: “ayah, aku belum mempunyai seorang istri, maka nikahkanlah aku”. Kemudian Umar mengurim utusan kepada gadis tersebut, lalu menikahkannya dengan putranya, Ashim. Pasangan ini kemudian dikaruniai seorang anak perempuan yang kelak melahirkan Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang dikenal adil dan ahli ibadah.
Menegakkan keadilan itu tidak hanya ditiuntut dalam hal yang berkairan dengan perbuatan dan ucapan atau kedua-keduanya sekaligus, tetapi juga diperintahkan dalam transaksi bisnis.
(#qèù÷rr&ur Ÿ@øs3ø9$# #sŒÎ) ÷Läêù=Ï. (#qçRÎur Ĩ$sÜó¡É)ø9$$Î/ ËLìÉ)tFó¡ßJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur WxƒÍrù's? ÇÌÎÈ
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbangan dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akuibatnya. (QS. Al-Isra’: 35)[7]
Lebih jauh, Al-Qur’an mengisahkan tentang suatu kaum yang berbuat curang dalam transaksi bisnis sekaligus menyimpang dari nilai keadilan dalam hal takaran dan timbangan. Mereka mengurangi sesuatu yang menjadi hak konsumen. Lalu Allah mengirim seorang rasul untuk mengembalikan mereka ke jalan keadilan dan memperbaikinya. Mereka addalah penduduk Aikah (Madyam) kaum Nabi Syu’aib yang telah diperingatkan Allah melalui firman-Nya:
qèù÷rr& Ÿ@øs3ø9$# Ÿwur (#qçRqä3s? z`ÏB z`ƒÎŽÅ£÷ßJø9$# ÇÊÑÊÈ (#qçRÎur Ĩ$sÜó¡É)ø9$$Î/ ËLìÉ)tFó¡ßJø9$# ÇÊÑËÈ Ÿwur (#qÝ¡yö7s? }¨$¨Z9$# óOèduä!$uô©r& Ÿwur (#öqsW÷ès? Îû ÇÚöF{$# tûïÏÅ¡øÿãB ÇÊÑÌÈ
181.Sempurnakanlah takaran dan jaganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan. 182. Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus.183. Dan jnganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan
Nabi Syu’aib menasihati kaumnya hendaklah mereka berlaku jujur dalam takaran dan timbangan dan sekali-kali mereka dilarang berlaku curang di dalam menakar dan menimbang sesuatu yang harus mereka terima atau yang harus mereka serahkan kepada pihak lain. Karena dengan menyerahkan atau menerima sesuatu yang takarannya atau timbangannya tidak sempurna, dikurangi atau dilebihkan daripada semestinya, akan ada pihak yang dirugikan di samping pihak yang memperoleh keuntungan yang bukan menjadi kaya.[8]
Ayat 1-3: Menurut riwayat An Nasai dan Ibnu Majah bahwa sewaktu Rasul saw hijrah ke Madinah penduduknya masih memegang tradisi lama dalam menimbang dagangan, bila untuk dirinya dilebihkan tetapi bila untuk orang lain dikurangi. Ayat ini turun mengingatkan buruknya tindakan tersebut, mencela segala macam laku curang meskipun yang disebut hanya menimbang dan menukarr saja. Brlaku curang dalam bertrnsaksi akan menganggu ketentraman masyarakat yang sehat, diantaranya hilangnya saling percaya, tumbuhnya kecintaan harta yang berlebihan, serta renggangnya hubungan dan menipisnya solidaritas masyarakat. Rasa aman menjadi terganggu yang akan berakibat buruk bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.
Mungkin kerugian materi yang ditimbulkan tidak banyak namun jiwa yang selalu diajak curang akan menjadi kebal terhadap dosa yng dilakukan, artinya menjadi watak yang sulit dikikis. Yang sudah dikenal sebagai pelaku curang akan dijauhi masyarakatnya. Inti ayat ini adalah perinah jujur dan adil dalam bermasyarakat, termasuk jujur dengan diri semdiri, kepada keluarga dan tugas yang diamanatkan kepadanya. Segala sikap jujur dalam arti luas masuk yang ddituju ayat-ayat ini.[9]
Takaran diartikan sebagai proses mengukur untuk mengetahui kadar, berat, atau harga barang tertentu. Kata kerjanya adalah menakar yang sering disamakan dengan menimbang. Menakar atau menimbang merupakan bagian dengan perniagaan yang sering dilakukan oleh para pedagang. Mereka menggunakan alat untuk menukar atau menimbangn yaitu timbangan yang juga disebutneraca karena memiliki keseimbangan.
Kata “takar” sering dipadankan dengan kata yang ada dalam Al-Qur’an, yakni lima kata iktala (kyl), kala, kayl, kill, mikyal, naktal dan mizan yang lebih dekat artinya neraca.
Adapun prinsip etis tentang cara menakar ddan menimbang teah dijelaskan pada Qs. Al-Mutaffifin (83): 1-3. Dalam tafsirnya. Sayyid Quthub juga menyatakan  ûüÏÏeÿsÜßJù=Ïj9bermakna orang-orang yang menuntut barang dagaan mereka dipenuhi apabila mereka menjadi pembeli, akan tetapi apabila orang laiin yang membeli, mereka menguranginya.
Sedikit berbeda dengan pernyataan sebelumnya, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat ini menegaskan tentang kecelakaan dan kerugian besar di dunia dan akhirat akan ditimpakan bagi orang-orang yang curang, yaitu mereka yang apabila menerima takaran dan timbangan atas yakni dari orang lain, mereka minta dan menuntut secara sungguh-sungguh agar dipenuhi, atau bahkan cenderung minta dilebihkan. Apabila mereka menakar atau menimbang untukk orang lain, mereka berbuat curang dengan mengurangi timbangan dan takaran dari apa yang mestinya mereka berikan. Kecelakaan, kebinasaan, dan kerugian akan dialami oleh yang melakukan kecurangan dalam interaksi ini. Itu dapat dirassakan oleh pelaku perddagangan, maka pada akhirnya yang bersedia berinteraksi dengannya hanyalah orang-orang yang melanjutkan hubungan dengannya. Sikap semacam ini adalah pangkal kecelakaan dan kerugian duniawi.
Ayat ke-2 di atas hanya menyebut menerima takaran, sedang ayat ke-3 menyebut mengukur dan menimbang. Ini boleh jadi karena dalam penimbangan, upaya untuk menuntut kelebihan tidak sebesar dalam pengukuran, sedang dalam pengukuran kedua hal itu—penimbangan dan pengukuran—dengan mudah dapat terjadi, lebih-lebih jika pengukuran dan penimbangan itu tidak dihadiri oleh mitra dagangnya. Boleh jadi juga karena para pedagang ketika itu lebih banyak menggunakan takaran daripada timbangan.
Ayat diatas merupakan ancaman kepada semua pihak agar tidak melakukan kecurangan dalam penibangan dan pengukuran, termasuk melakukan standar ganda. Perlakuan semacam ini bukan saja kecurangan, tetapi jugan pencurian dan bukti kebejatan hati pelakunya. Disisi lain, kecurangan ini menunjukann pula keagkuhan dan pelecehan, karena biasanya pelakunya menganggap remeh mitranya sehingga berani melakukan hal tersebut.
Senada dengan pernyataan diatas, Ath-Thabari menjelaskan bahwa ayat ini mengandung ancman bagi orang-orang yang melakukan kecurangan dalm perdagangan, yaitu orang-orang yang takaran orang lain apabila mereka menakar untuknya, atau mengurangi timbangannya apabila mereka menimbang untuknya.allah mengancamnya dengan memasukkan mereka ke dalam lapisan yang paling bawah dari neraka jahanam.      Dalam tafsir al-Misbah diuraikan bahwa salah satu hal yang berkaitan dengan hak pemberian harta adalah menakar dengan sempurna. Karena itu, ayat ini menyatakan bahwa “dan sempurnakanlah secara sungguh-sungguh takaran apabila kamu menakar untuk pihak lain dan timbanglah dengan neraca yang lurus”, yakni yang benar dan adil. Itulah yang baik bagi kamu dan orang lain, karena dengan demikian oang akan oercaya kepadamu, sehingga semakn banyak yang berinteraksi denganmu. Disamping itu, melakukan hal itu juga lebih bagus akibatnya diakhirat nanti dan bagi seluruh masyarakat dalam kehidupann dunia ini.[10]
Menurut Sayyid Quthub, menyempurnakan takaran dan timbangan termasuk perbuatan akad (janji). Terlihat jelas bahwa ada hubungan antara memenuhi janji dan menyempurnakan takaran dan timbangan, baik secara lafaz dan maknanya. Sedangkan menyempurnakan takaran dan meluruskan timbangan merupakan amanat dalam bertransaksi dan kebersihan hati, menunjukkan percya diri dan memperoleh keberkahan dalam hidup. Sikapseperti ini juga lebih baik akibatnya di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, tamak dalam takaran dan timbangan merupakan kotoran dan kehinaan jiwa. Oleh karena itu, ketahuilahh bahwa menipu dan berhianat dalam bertransaksi akann mencabut kepercayaan diri seseorang. [11]
Kecurangan dalam menimbang atau menakar sesuatu dapat di analogikan pula pada perilaku curang lainnya. Misalnya seorang pegawai atau pekerja yang tidak melakukan pekerjaanya dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab sesuai dengan ukuran semestinya maka hkumnya sama juga dengan orang yang curang dalam menimbang barang.
Sesungguhnya perbuatan mengurangi takaran atau timbangan menggelapkan harta orang banyak serta penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan merupakan perbuatan tercela yang dilakukan oleh orang-orang yang ingkar pada hari kiamat, yaitu hari dimana semua amal perbuatan manusia ditimbang, diperhitungkan dihadapan Allah SWT yang maha adil. Namun bagi mereka yang mempercayai adanya hari pembalasan, sudah pasti tidak akan berani melakukan semua kecurangan yang kiranya dapat merugikan orang lain.
Sebaliknya bagi mereka yang mantab imannya kepada hari pembalasan sudah pasti mereka tidak akan berani melakukan semua kecurangan dan melanggar larangan Allah karena takut pada pembalasan Allah di hari kiamat kelak.[12]


KESIMPULAN

     Ayat 1-3 surat Al-Mutaffifin merupakan ancaman kepada semua pihak agar tidak melakukan kecurangan dalam penibangan dan pengukuran, termasuk melakukan standar ganda. Perlakuan semacam ini bukan saja kecurangan, tetapi jugan pencurian dan bukti kebejatan hati pelakunya. Disisi lain, kecurangan ini menunjukann pula keagkuhan dan pelecehan, karena biasanya pelakunya menganggap remeh mitranya sehingga berani melakukan hal tersebut.
Menyempurnakan takaran dan timbangan termasuk perbuatan akad (janji). Terlihat jelas bahwa ada hubungan antara memenuhi janji dan menyempurnakan takaran dan timbangan, baik secara lafaz dan maknanya. Sedangkan menyempurnakan takaran dan meluruskan timbangan merupakan amanat dalam bertransaksi dan kebersihan hati, menunjukkan percya diri dan memperoleh keberkahan dalam hidup. Sikapseperti ini juga lebih baik akibatnya di dunia maupun di akhirat. Sebaliknya, tamak dalam takaran dan timbangan merupakan kotoran dan kehinaan jiwa. Oleh karena itu, ketahuilahh bahwa menipu dan berhianat dalam bertransaksi akann mencabut kepercayaan diri seseorang.
Oleh karena itu, hendaklah mereka berlaku jujur dalam takaran dan timbangan dan sekali-kali mereka dilarang berlaku curang di dalam menakar dan menimbang sesuatu yang harus mereka terima atau yang harus mereka serahkan kepada pihak lain. Karena dengan menyerahkan atau menerima sesuatu yang takarannya atau timbangannya tidak sempurna, dikurangi atau dilebihkan daripada semestinya, akan ada pihak yang dirugikan di samping pihak yang memperoleh keuntungan yang bukan menjadi kaya. Dan janganlah melakukan kerusuhan dan pengrusakan di muka bumi dengan cara merampok, mencuri, mengganggu keamanan desa dan kampung halaman dengan tindakan sewenang-wenang dan sikap merajalela. Dan hendaklah mereka menyembah dan bertakwa kepada Allah yang telah menciptakan mereka dan umat-umat sebelum mereka.


DAFTAR PUSTAKA
Bahreisy, Salim, dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8
Dahlan, Zaini, Tafsir Al Qur’an Juz 30, Yogyakarta: UII Press, 2010
Hardivizon, Tafsir Ayat-Ayatt Ekonomi, Curup: Lp2 STAIN Curup, 2013
Ibnu Katsier, Terjemah Singkat Ibnu Katsier 6, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006
Kadir, A., Hukum Bisnis Syariah dalam Alquran, Jakarta: AMZAH, 2010
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jaharta: Lentera Hati, 2010,  Jilid X, Jus 28-29-30
T.H Thalhas, dkk.,Tafsir Pase (Kajian surah Al-Fatihah dan Surah-surah dalam Juz’amma), Jakarta: PT. Dian Ariesta, 2001
Universitas Islam RI, Al-qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, Jilid X, Juz 28-29-30
                                                                                                  







[1] Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jaharta: Lentera Hati, 2010,  Jilid X, Jus 28-29-30, hlm. 584-588
[2] Universitas Islam RI, Al-qur’an dan Tafsirnya, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, Jilid X, Juz 28-29-30, hlm. 625-628
[3] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8, hlm. 323-324
[4] Kementrian Agama RI, op. cit., hlm. 585-588
[5] Universitas Islam RI, op. cit., hlm. 626-628
[6] Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, op. cit., hlm. 323-324
[7] A. Kadir, Hukum Bisnis Syariah dalam Alquran, Jakarta: AMZAH, 2010, hlm.75-82
[8] Ibnu Katsier, Terjemah Singkat Ibnu Katsier 6, Surabaya: PT Bina Ilmu, 2006, hlm. 79-80
[9] Zaini Dahlan, Tafsir Al Qur’an Juz 30, Yogyakarta: UII Press, 2010, hlm.87-88
[10] Hardi Vizon, Tafsir Ayat-Ayatt Ekonomi, Curup: Lp2 STAIN Curup, 2013, hlm167-176
[11] Ibid., hlm. 176-177
[12]  T.H Thalhas, dkk.,Tafsir Pase (Kajian surah Al-Fatihah dan Surah-surah dalam Juz’amma), Jakarta: PT. Dian Ariesta, 2001, hlm. 410-413
|
This entry was posted on 16.53 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: