BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang’
Dalam kehidupan
sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh
Allah.Dia-lah sang pembuat hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf,
baik yang berkait dengan hukum taklifi
(seperti:wajib,sunnah,haram,makruh,mubah,maupun yang terkait) dengan hukum
wad’I (seperti:sebab,syarat,halangan,sah,batal,fazid,azimah dan rukhsoh). Untuk
menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum
fih,karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum
haram.atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan
perintah syari’ itu adalah mahkum fih,sedangkan seseorang yang di kenai khitab
itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf).
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Mahkum Fih/Mahkum Bih
Untuk menyebut istilah
peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul menggunakan istilah mahkum
fih, karena didalam perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum
wajib maupun yang haram. Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum
bih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disiasati dengan hukum, baik
bersifat yang deperintahkan maupun yang dilarang.
Menurut ulama Ushul
Fiqh, yang di maksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu
perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah
dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan;
memilih suatu pekerjaan; dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah,
rukhsah, sah serta batal. (Al-Bardisi: 11: 148)[1]
Menurut
Usuliyyin,yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan
seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya),
baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan
memilih suatu pekerjaan.[2]
Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang
menjadi obyek hukum syara’. Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan
mukallaf yang dinilai hukumnya. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang
dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang
terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan,
tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat,
sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal . Jadi, secara singkatnya
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan
mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.[3]
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’I itu ada
objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf
tersebut di tetapkan suatu hukum. Misalnya:
·
Firman
Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah :43, yang artinya:
“dirikanlah
shalat …”
·
Firman
Allah SWT. Dalam surat Al-An’am : 151, yang artinya:
“janganlah
kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu (sebab)
yang benar …”
·
Firman
Allah SWT. Dalam surat Al-Maidah : 5-6, yang arinya:
“Apabila
kamu hendak mengejrakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku …”
·
Rasulullah
Saw. Bersabda:
Yang
artinya: “pembunuh tidak mewarisi.” (H.R. Abu Dawud, Imam Malik, dan
Ahmad Ibn Hambal).
Dari
hadis tersebut dapat diketahui bahwa salah satu penyebab seseorang tidak
mendapat harta waris adalah pembunuhan. Dengan demikian, pembunuhan itu
merupakan perbuatan mukallaf yang menjadi penghalang (mani )
untuk menerima waris.
Dengan beberapa contoh
di atas, dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.
Berdasarkan hal itu, ulama Ulama Fiqih menetapkan kaidah “Tidak ada
taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan.” Kaidah tersebut
telah disepakati oleh sebagian besar ulama ushul. Di antara mereka, ada
yang beragumen bahwa apabila alam syara’ tercakup hukum wajib ataupun suna,
maka peritahnya pasti jelas, yakni perintah wajib itu berkaitan dengan
keharisan, sedangkan sunah tidak demikian, tetapi keduanya sama-sama bisa
terlaksana dengan adanya perbuatan.[4]
Begitu pula hukum
syara’ yang berkaitan dengan haram dan makruh keduanya terjadi dengan
perduatan, yakni mengekang diri untuk tidak melaksanakan sesuatu yang haram
atau makruh tersebut.
Namun menurut
mayoritas golongan mu’tazilah, bahwa objek hukum ang terkait dengan
larangan, baik yang hukumnya haram maupun makruh bukanlah perbuatan, namun
terjadi semata-mata karena tidak adanya perbuatan. Dan hal itu merupakan
kemampuan seorang mukallaf untuk tidak mengerjakan perbuatan tersebut.
Pendapat seperti itu
di nilai tidak tepat menurut Jumhur, karena tidak adanya perbuatan tidak
berarti seseorang tidak mempu melakukannya. Dengan demikian, tidak berkaitan
dengan pujian ataupun pahala. Maka tidak ada bedanya dengan ketiadaan sesuatu
yang merupakan hasil dari sebelum adanya keinginan untuk mengerjakannya. Maka
otomatis tidak ada nilai tuntutan di dalamnya.[5]
Syarat-syarat pen-taklif-an menurut syara’:
1.
Perbuatan
itu harus diketahui mukallaf dengan pengetahunan yang sempurna, sehingga
mukallaf tersebut mampu untuk melaksanakannya sebagaimana ia tuntut.
Berdasarkan hal ini maka nash-nash Al-quran yang mujmal (yang
belum dijelaskan maksudnya), tidak sah men-taklif-kannya pada mukallaf,
kecuali seudah penjelasan Rasulullah menyusulnya. Firman Allah SWT:
Yang
artinya: “… Dan dirikanlah shalat…(Al-Baqarah (2): 43)
Nash
Alquran itu belum menjelaskan rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan tata
cara pelaksanaannya. Oleh Karen itulah Rasulullah saw, menjelaskan ke-mujmal-an
ini, dan berkata: “Lakukanlah shalat sebagaimana kamu melihatku melakukan
shalat.”
2.
Perbuatan
itu harus diketahui, bahwa pen-taklif-an perbuatan itu datang dari orang
yang mempunyai otoritas untuk menganakan taklif dan dari orang yang mukallaf
wajib mengikuti hukum-hukumnya, karena dengan pengetahuan inilah maka kemauan
untuk menaatinya diarahkan.
3.
Perbuatan
yang di-taklif-kan harus bersifat mungkin, atau ia berada Dalam
kemampuan mukallaf untuk mengerjakannya atau meninggalkannya. Karena
mustahil suatu perintah disangkutpautkan dengan yang mustahil, seperti
mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan. Tegasnya tidak diperintahkan
sesuatu melainkan sesuatu itu belum ada dan mungkin akan terwujud.
4.
Dapat
di usahakan oleh hamba dan pekerjaan itu menurut ukuran biasa sanggup dilakukan
oleh orang yang menerima khitab itu.
5.
Dapat
dikerjakan dengan ketaatan, yakni bahwa pekerjaan itu dilakukan untuk
menunjukan sikap taat. Kebanyakan ibadah masuk golongan ini, kecuali dua
perkara, yaitu:
v Nazar yang
menyampaikan kita kepada suatu kewajiban yang tidak mungkin dekerjakan dengan
maksud taat, karena tidak diketahui wajibnya sebelum dikerjakan.
v Pokok bagi iradah taat dan ikhlas. Bagi yang taat dan ikhlas
terhadap iradat mendapat pahala, karena kalau memang dikehendaki niscaya
terlaksana juga iradat itu.
Di samping syarat-syarat yang tersebut di atas, bercabanglah beberapa
masalah lain, yaitu:
1.
Sanggup
mengerjakan. Tidak boleh di beratkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh
mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya.
2.
Pekerjaan
(sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah, bahwa
pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulam berpendapat, bahwa boleh
dibebankan kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi,
seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman. Hal ini dapat dijadikan hujjah
untuk membolehkan taklif terhadap sesuatu yang mustahil.
3.
Pekerjaan
yang sukar sekali dilaksanakan. Pekerjaan ang sukar itu ada dua macam:
Ø Kesukarannya itu luar biasa dalam arti sangat memberatkan bila
perbuatan itu dilaksanakan.
Ø Tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan,
hanya terasa lebih berat daripada yang biasa.
4.
Pekerjaan-pekerjaan
yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran ang luar biasa.[6]
Macam-macam mahkum Fih
Dari segi keberadaanya secara material dan syara’, mahkum fih terdiri
atas:
a.
Perbuatan
yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan
syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah perbuatan mukallaf,
tetapi perbuatan makan itu tidak terkait dengan hukum syara’.
b.
Perbuatan
yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti
perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum
syara’, yaitu hudhud dan qishah.
c.
Perbuatan
yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun
dan syarat yang di tentukan, seperti shalat dan zakat.
d.
Perbuatan
yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum
syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa menyewa. Perbuatan seperti
ini secara material ada dan diakui syara’. Apabila memenuhi rukun dan
syaratnya, perbuatan ini mengakibatkan munculnya hukum syara’ ang lain, yaitu
halalnya berhubungan suami istri, kewajiban nafkah, dan kewajiban mahar dalam
perkawinan; berpindahnya hak milik dalam jual beli; dan berhaknya seseorang
menafkahkan milik orang lain; serta berhaknya pihak lain untuk menerima upah
dalam akad sewa menyewa.[7]
Dilihat
dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fih dibagi
menjadi 4 bentuk, yaitu;
a.
Semata-mata
hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan
umum tanpa kecuali. Dalam hak ini seseorang tidak dibenarkan melakukan
pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini. Hak sifatnya
semata-mata hak Allah ini, menurut ulama Ushul Fiqih ada 8 macam:
·
Ibadah
mahdah (murni), seperti iman dan rukun islam yang lima.
·
Ibadah
yang didalamnya mengandung makna pemberian dan santunan, seperti zakat fitrah.
·
Bantuan/santunan
yang mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil yang dikeluarkan dari bumi.
·
Biaya/santunan
yang mengandung makna hukuman. Seperti kharaj (pajak bumi).
·
Hukuman
secara sempurna dalam bentuk pidana, seperti hukuman berbuat zina (dera atau
rajam).
·
Hukuman
yang tidak sempurna, seperti seseorang tidak diberi harta waris atau wasiat,
karena ia membunuh pemilik harta tersebut.
·
Hukuman
yang mengandung makna ibadah, seperti kafatar sumpah, kafarat dzihar. Kafarat
sumpah, kafarat orang yang melakukan senggama di siang hari bulan Ramadhan, dan
berbagai diyat lainnya.
·
Hak-hak
yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeliarkan seperlima harta terpendam
dan harta rampasan perang.
b.
Hak
hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi
harta seseorang yang dirusak, hak-hak kepemilikan, hak-hak pemanfaatan hartanya
sendiri. Hak seperti ini boleh digunakan oleh pemiliknya.
c.
Kompromi
atau hak Allah dengan hak hamba. Tetapi hak Allah di dalamnya lebih dominan,
seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat
zina).
d.
Kompromi
antara hak Allah dan hak hamba,tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan,
seperti dalam masalah qishash. Hak Allah dalam qishash tersebut berkaitan
dengan pemeliharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah seseorang yang
tidak halal dibunuh, sedangkan hak pribadi hamba Allah menjamin kemaslahatan
pihak ahli waris yang terbunuh.[8]
MAHKUM
ALAIH (SUBYEK HUKUM)
1.
Pengertian
Mahkum Alaih
Ulama ushul fiqih
telah sepakat bahwa mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya
dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut mukallaf.
Dari segi bahasa, mukallaf
diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul
fiqih, mukallaf disebut juga mahkum alaih (subyek hukum). Mukallaf
adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan
dngan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang
dilakukan mukallaf dan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di
akhirat. Ia akan mendapatkan pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah
Allah, dan sebaliknya, bila mengerjakan larangan-Nya akan mendapatkan siksa
atau resiko dosa karena melanggar aturan-Nya, di samping tidak memenuhi kewajibannya.[9]
Para ulama ilmu ushul mengatakan bahwa mahkum alaihi
adalah :
هُوَ الْمُكَلَّفُ الِّذِي تَعَلَّقَ حُكْمُ
الشَّارِعِ بِفِعْلِهِ
Yaitu mukallaf yang perbuatannya berkaitan dengan hukum
syari’.
Jadi mukallaf itu merupakan definisi lain dari mahkum
‘alaih.
Secara etimologi mukallaf merupakan derivasi dari kata kallafa
yang maknanya adalah membebankan. Karena itu secara etimologi pengertian mukallaf
berarti yang dibebani hukum.
Secara terminologi : mukallaf adalah orang yang telah dianggap
mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun
larangan-Nya. Semua yang berkaitan dengan seluruh aktivitas mukallaf memiliki
implikasi hukum, dan karenanya harus dipertanggung jawabkan, baik di dunia
maupun di akhirat.[10]
Menurut
ushuliyyin yang di maksud mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai khitob Alloh SWT yaitu yang di sebut mukallaf.dalam arti
bahasa yaitu yang di bebani hukum,sedangkan dalam istilah ushul fiqih mukallaf
sering di sebut subjek hukum.[11]
Mahkum alaih adalah
seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah, yang disebut dengan
mukallaf. Atau suatu perbuatan mukallaf yang dengan perbuatannyalah
hukum syar’I berkaitan, atau mukallaf yang di bebani hukum.
2.
Syarat-syarat
taklif
a.
Bahwa
ia harus mampu memahami dalil pen-taklif-an, sebagaimana ia mampu untuk
memahami nash perundang-undangan yang di-taklif-an padanya dalam Al quran dan
sunnah, baik dengan sendirinya atau dengan perantara. Berdasarkan persyaratan
ini, maka orang gila tidak terkena taklif. Demikian pula anak kecil, karena
ketiadaan akal yang menjadi sarana untuk memahami dalil taklif. Orangf yang
ghafil (lalai), orang yang tidur, dan orang yang mabuk juga tidak terkena
taklif, karena sesungguhnya mereka dalam keadaan lalai, tidur, atau mabuk yang
tidak mampu untuk memahami.
b.
Mukallaf
haruslah layak untuk dikenakan taklif. Ahliyyah, makna dalam bahasa arab adalah
kelayakan. Adapun ahliyyah menurut kajian ushul fiqih, terbagi menjadi dua
macam, yaitu ahliyyah wujub dan ahliyyah ada’.[12]
3.
Dasar Taklif
Orang yang
dikenai taklif adalah mereka yang sudah di anggap mampu untuk mengerjakan
tindakan hukum atau dalam kata lain seseorang bisa di bebani hukum apabila ia
berakal dan dapat memahami secara baik taklif. Maka orang yang belum
berakal di anggap tidak bisa memahapi taklif dari syari’(Allod dan Rosulnya)
sebagai sabda nabi:
Yang artinya:Di
anggat pembebanan hukum dari 3(jenis orang) orang tidur sampai ia bangun,anak
kecil sampai baligh,dan orang gila sampai sembuh.(HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu
majah dan darut Quthni dari Aisyah dan Aly ibnu Abi Thalib)
4.
Pengertian Ahliyyah
Secara
harfiyyah ahliyyah adalah kecakapan menangani sesuatu urusan
Adapun Ahliyyah
secara terminologi adalah suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan
ukuran oleh syari’untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan
syara’.
Pembagian
ahliyyah
1. Ahliyyah
ada’
Yaitu kecakapan
bertindak hukum bagi seseorang yang di anggap sempurna untuk mempertanggung
jawabkan seluruh perbuatannya,baik yang bersifat positif maupun negatif.ukuran
untuk menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah ada’adalah aqil baligh dan
cerdas
2. Ahliyyah Al-wajib
Yaitu sifat
kecakapan seseorang untuk menerima hak hak yang menjadi haknya,tetapi belum
mampu untuk di bebani seluruh kewajiban,
Para usuliyyin
membagi ahliyyah al wujub ada 2 bagian:
1.Ahliyyah al
wujub an-naqishoh.
Yaitu anak yang
masih berada dalam kandungan ibunya(janin)janin inilah sudah dianggap mempunyai
ahliyyah wujub akan tetapi belum sempurna.
2. Ahliyyah al
wujub al kamilah
Yaitu kecakapan
menerima hak bagi seseorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan
baligh dan berakal,sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila
-Halangan
ahliyyah
Dalam
pembahasan awal bahwa seseorang dalam bertindak hukum di lihat dari segi
akal,tetapi yang namanya akal kadang berubah atau hilang sehingga ia tidak
mampu lagi dalam bertindak hukum.seseorang kecakapannya bisa berubah karena di
sebabkan oleh hal hal berikut:
1.
Awaridh samawiyyah yaitu halangan yang
datangnya dari Alloh bukan di sebabkan oleh manusia seperti: gila, dungu,
perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa
2.
Al awaridh al muktasabah yaitu halangan yang
disebabkan oleh perbuatan manusia seperti mabuk,terpaksa,bersalah,dibawah
pengampunan dan bodoh.[13]
[1] Rachmat Syafe’i.Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, 2010,
hal. 317
[4] Rachmat Syafe’i.Ilmu Ushul Fiqih, CV
Pustaka Setia, 2010, hal. 317-320
[5] ibid
[6] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih. AMZAH.
2005. Hal. 185-187
[7] Rachmat Syafe’i.Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, 2010,
hal. 331-332
[8] ibid
[9] Rachmat Syafe’i.Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, 2010,
hal. 334
[12] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih. AMZAH.
2005. Hal. 184-185
1 komentar:
Titanium Set Off Metal detectors Near You - TITANIAN ARTS
TITANIAN ARTS ridge titanium wallet are very good 2016 ford focus titanium detectors thinkpad x1 titanium for outdoor, ford edge titanium 2021 fishing, and snowmobile babylisspro nano titanium activities,