Author: Unknown
•22.03


MAZHAB BAQIR AS-SADR
A.                Biografi Baqir As-Sadr
Muhammad baqir as-sadr lahir di Kazimiya, sebuah kota baghdad. Pada tanggal 25 Dzulqa’idah 1353 H, bertepatan dengan 1 Maret 1935 M. Hanya tiga tahun Muhammad Baqir As-Sadr tumbuh dalam dekapan kasih sayang seorang ayah. Pada tanggal 27 Jumadil Stani 1356, ayahnya Sayyed Haidr Al-Sadr wafat di kota kazimiya. Ia dimakamkan si samping makam ayahnya, Sayyed ismail.
1.                  Keseharian Baqir as-Sadr
Melihat potretnya akan mengingatkan kita pada citra para imam karismatik Syiah. Serban hitam dan gamis putih dengan lapisan hitam khas selalu menghiasi tubuh laki-laki ini. Jenggotnya yang setengah putih memancarkan karisma kendati ia lebih di kenal sebagai seorang filsuf daripada seorang imam. Pancaran imam spiritual dalam diri Muhammad Baqir as-Sadr mulai terlihat ketika ia masih kecil. Bagaikan ditempa nasib, karisma itu muncul seiring liku kehidupan yang dilaluinya.
2.                  Pendidikan Baqir As-Sadr
Sebagai bocah wafatnya Haidr al-Sadr ayah Muhammad Baqir as-Sadr, telah mengubah hidup Baqir as- Sadr. Babak baru telah di mulai persis ketika keluarga baqir as-sadr pindah ke kota suci komunitas Syiah, Najaf. Babak ini telah menjadi titik awal bagi tumbuhnya Muhammad Baqir As-Sadr sebagai seorang pribadi, juga seorang filsuf yang mempresentasikan mozaik pemikiran syiah.
Kota najaf bagi Muhammad Baqir As-Sadr merupakan pembentuk dan pewarna aktif bagi dirinya. Dikatakan pewarna aktif karena kota Najaf merupakan kota suci Imam Ali r.a yang dikunjungi dan dijadikan basis spiritualitas bagi komunitas Syiah di dunia. Kota merupakan representasi penduduknya dengan realitas yang tumbuh dalam sebuah kota. Kota hanyalah wahana tempat berbagai nilai tumbuh dan berbagai pribadi saling berinteraksi: ada institusi, juga ada nilai-nilai yang mengikat. Najaf merupakan sebuah kota yang memiliki nilai seperti yang ada di uraikan di atas. Kondisi inilah yang memungkinkan Muhammad Baqir As-Sadr tumbuh sebagai seorang muslim syiah yang taat dan memiliki pemahaman yang mendalam terhadap tradisi dan islam.
·      Di Depan Pintu Revolusi
Memahami seorang Muhammad Baqir as-Sadr tidak bisa secara tunggal (hanya melihatnya sebagai seorang pribadi). Akan tetapi, konstruksi sosio-historis yang melingkarinya juga layak diperhatikan untuk mengetahui dan memahami Muhammad Baqir as-Sadr sebagai seorang pribadi sekaligus seorang filsuf.
·      Menuang Gagasan di Zaman Edan
Memahami situasi di Irak ketika Muhammad Baqir as-Sadr aktif mengorganisasi gerakan Islam Syiah dan memproduksi gagasan mengingatkan kita pada situasi Indonesia di era keruntuhan Orde Baru. Richard Lloyd Parry menyebut situasi ini dengan “zama edan”.
·      Sketsa Jejaring Mazhab Baqir as-Sadr
Ketika komunitas kritis terbentuk, pada saat itulah pemikiran akan menjadi lebur hingga menjadi cakrawala intelektual. Dengan perkataan lain, itu di bangun ulang untuk kemudian menjadi mazhab dan diikuti. Ini yang menimpa Muhammad Baqir as-Sadr dalam pemikirannya yang ia produksi. Kini karya-karya Muhammad Baqir as-Sadr khususnya tentang ekonomi (iqtishad) telah menjadi mazhab tersendiri dan mewarnai perkembangan ekonomi islam sebagai sebuah struktur alternatif ekonomi.
B.                 Doktrin Ekonomi Muhammad Baqir as-Sadr
Hadirnya pemikiran Muhammad Baaqir as-Sadr dan tumbuhnya pemikiran iqtishad yang segaris dengannya mengandaikan adanya konteks otonom dan khas yang mendorong lahirnya konsepsi itu. Mengacu pada pandangan Medema dan Samuels (2000), sejarah pemikiran ekonomi tidak ditulis oleh dirinya sendiri. Ekonomi dalam makna sebagai sebuah proses membangun ekonomi dan mengembangkan ilmu ekonomi sebagai disiplin profesional tidak lain adalah artefak dan dikonstruksi secara sosial. Pemikiran ekonomi, termasuk di dalamnya ekonomi islam, hampir tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial tempat seorang ekonom tersebut tumbuh dan merumuskan pemikirannya dalam aspek ekonomi. Pemikiran ekonomi apapun bentuknya tidak lahir di ruang hampa. Ia hadir tatkala satu masyarakat telah memiliki bangunan konsepsi konsensual yang menjadi tren dari aktivitas ekonomi. Dalam masyarakat rural yang memilih pertanian sebagai aktivitas ekonomi, akan ditemukan ciri dan karakter substansi sebagai bentuk kohesi sosial-ekonomi yang mereka tradisikan.
Pada bukunya yang berjudul iqtishaduna, Muhammad Baqir as-Sadr mengatakan bahwa “Ekonomi islam adalah sebuah doktrin dan bukan merupakan suatu ilmu pengetahuan karena ia adalah cara yang direkomendasikan islam dalam mengajar kehidupan ekonomi, bukan merupakan suatu penafsiran yang dengannya islam menjelaskan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ekonomi dan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya”. Ada ketidaksejajaran antara ekonomi islam dengan penamaan iqtishad oleh Muhammad Baqir as-Sadr. Doktrin, etika, dan tawaran nilai adalah hal yang dipahami oleh Muhammad Baqir as-Sadr. Paradigma yang dibangun dan ditawarkan oleh Muhammad Baqir as-Sadr berawal dari sikap prihatinnya terhadap kondisi buruk dan nestapa ekonomi yang disebabkan oleh tumbuhnya ilmu ekonomi tanpa melibatkan dasar-dasar doktrinal kewahyuan. Singkatnya, ilmu ekonomi difokuskan ada pilihan dan membuat keputusan.
1.    Nestapa Ekonomi: Nalar dan Argumentasi Munculnya Istilah iqtishad
Dinilai oleh Chamid (2000), penggunaan istilah iqtishad  oleh Muhammad Baqir As-Sadr bukan tanpa dasar. Ada argumentasi yang mendasari istilah ini muncul dan menguat dalam spektrum pemikiran ekonomi Muhammad Baqir as-Sadr. Istilah iqtishad, di nilai Chamid (2010), tidaklah sama dengan pengertian ekonomi dan bukan sekedar terjemahan kata ekonomi dalam bahasa Arab. Krisis genetik ekonomi itulah yang kemudian memicu pandangan negatif Muhammad Baqir as-Sadr terhadap istilah ekonomi. Akhirnya ia pun tidak mau  menggunakan ekonomi islam sebagai istilah yang ia pakai untuk menjelaskan pemikiran ekonominya.
Muhammad Baqir as-Sadr menyadarai situasi dan kelemahan dari ilmu ekonomi yang telah menjadikan kapitalisme sosialisme sebagai fondasi metode. Hal ini menjadikan ilmu ekonomi tidak bisa terbebas dari tendesi dan ideologis. Muhammad Baqir as-Sadr mengatakan “Dunia Islam yang secara ekonomi digolongkan sebagai kumpulan negara miskin memulai kehidupannya dengan peradaban Barat dan melihat problem dirinya sebagai problem ketertinggalan ekonomi di belakang negara-negara maju yang kemajuan ekonominya telah memberi mereka tongkat kepemimpinana dunia. Kehampaan adalah akibat dari pengadopsian sistem masif tanpa melakukan kritik dan mempertentangkan dengan struktur internal seperti agama dan budaya yang tumbuh dalam satu negara.
An-Nabhani (2009), cendekiawan muslim keturunan kabilah Bani Nabhan dari Arab pedalaman Palestina, jauh hari telah membangun jarak dengan sistem ekonomi kapitalisme dan sosialisme. Jarak ini sekaligus menjauhkannya dari ilmu ekonomi islam yang bersumber dari kedua kawah itu. Ekonomi sosialisme karakter utamanya pencegahan, bahkan pelarangan terhadap munculnya organisasi-organisasi ekonomi. Kebebasan melakukan aktivitas, apalagi usaha-usaha untuk mengumpulkan profit ataupun memaksimalkan utilitas sangat dibatasi dalam ekonomi sosialisme.
C.                 Doktin dan Ihwal Iqtishad: Teori Mazhab Baqir as-Sadr tentang Ekonomi
Clark (2007) menyatakan bahwa sejarah ekonomi dunia penuh deangan loncatan-loncatan yang mengejutkan. Ini tidak hanya berlaku dalam pemikiran ekonomi kapitalisme ataupun sosialisme, tetapi kini pandangan ini terasa dalam spektrum ekonomi islam. Hal ini dikatakan sebagai respon atau refleksi mendalam terhadap dinamika ekonomi yang tumbuh ketika Muhammad Baqir as-Sadr hidup karena ada “hal” yang menunjukkan bahwa ia tidak setuju dengan perkembangan ilmu ekonomi yang mengarah pada dua ideologi besar yanitu sosialisme dan kapitalisme.
1.    Kritik Baqir as-Sadr terhadap Teori Ditribusi Konvensional
Muhammad Baqir as-Sadr (2008) mengkritik, ” Ekonom kapitalis mengatakan bahwa ekonomi neoklasik mengkaji masalah-masalah distribusi dengan kerangka kapitalisme. Mereka tidak melihat kekayaanmasyarakat secara keseluruhan dan sumber-sumber produksinya. Mereka hanya mengkaji (masalah-masalah) distribusi kekayaan yang dihasilkan, yakni pendapatan nasional dan bukan kekayaan nasional secara keseluruhan.” Mekanisme pasar sebagai mesin distribusi dan pasarlah yang menjadi satu-satunya jalur yang dipandang absah untuk penetapan harga. Doktrin utama yang mempengaruhi kapitalisme ini adalah “invisible hand”, doktrin Adam Smith.
Doktrin iqtishad tentang distribusi seperti yang ditekankan oleh Muhammad Baqir as-Sadr mendasari penrtingnya penegakan akses terbuka dan setara dalam menggapai sumber-sumber kesejahteraan kendati sesungguhnya dalam ilmu ekonomi neoklasik, apalagi dalam konteks. Dalam islam, menurut Muhammad Baqir as-Sadr, masalah distribusi dibicarakan dalam skala yang lebih luas dan lebih komprehansif. Islam tidak membatasi dirinya dengan hanya mengurusi distribusi kekayaan produktif seraya mengabaikan begitu saja sisinya yang lebih dalam.
Rutherford (2005), mendefinisikan distribusi dalam tradisi ekonomi neoklasik sebagai pembagian (division) produk nasional di antara faktor-faktor produksi dalam bentuk upah, profit, bunga dan sewa. Bagi mereka, studi terhadap distribusi memusatkan perhatian pada isu-isu seperti:
a.    Distribusi merupakan salah satu bentuk/tipe dari pendapatan secara pribadi ataupun kelompok (groups).
b.    Distribusi merupakan tahapan terakhir dari produksi.
As-Sadr (2008) mengajukan teori distribusi yang berbeda, bahkan lebih mendalam ketimbang teori distribusi dalam ekonomi neiklasik. Distribusi, menurut Baqir as-Sadr, dikategorikan dalam dua tingkatan yaitu: distribusi sumber-sumber produksi dan distribusi kekayaan produktif. Di pihak lainnya, Muhammad Baqir as-Sadr telah mengurai lebih detail. Dalam ekonomi politik, menurut Baqir as-Sadr, sumber-sumber produksi dibagi ke dalam alam,modal (barang-barang modal), dan kerja (termasuk organisasi produk). Kendati demikian ia mengeliminasi dua sumber, yakni modal dan kerja.
Apapun bentuk sistem ekonominya, distribusi selalu daterminatif dengan kepemilikan privat, harga, dan faktor-faktor produksi. Perbedaannya terletak pada cara mengasumsikan “hal” yang determinatif itu.
2.    Menyigi Paradoks Produksi: Muhammad Baqir As-Sadr tentang Teori Produksi
Marx (1981) menyatakan bahwa terdapat pemborosan luar biasa dalam ekonomi kapitalis dibandingkan dengan penggunaan yang sesungguhnya. Kritik Karl Marx terhadap teori produksi kapitalisme terletak pada tujuan-tujuan eksploitasi dalam produksi neoklasik. Fungsi produksi dalam tradisi neoklasik agaknya dapat dimaknai sebagai sebuah hubungan antara jumlah output maksimum yang bisa di produksi dan input yang diperlukan guna menghasilkan output tersebut dengan singkat pengetahuan teknik tertentu. Tahapan hukum hasil lebih yang makin berkurang tidak lepas dari:
a.    Produksi total dengan peningkatan tambahan.
b.    Produksi total dengan penurunan hasil.
c.    Produksi total yang makin menurun.
Kendati demikian, hukum ini terbilang empiris dengan observasi yang berat dan sistematis dengan tingkat akurasi serta kedisiplinan yang tinggi. Karl Marx melihat bahwa tenaga kerja telah difragmentasi sedemikian rupa dalam masyarakat kapitalisme. Mereka dikotakkan berdasarkan skill, kekuatan fisik dan gender. Pandangan-pandangan Karl Marx tentang relasi produksi mengukuhkan bahwa Marxisme ekonomi bukanlah ilmu ekonomi secara umum.
As-Sadr (2008) membedakan dengan tegas doktrin produksi yang ditawarkannya dengan doktrin produksi yang ada dalam sistem produksi kapitalisme dan sosialisme. Muhammad Baqir as-Sadr mengatakan bahwa “dalam aktivitas produksi terdapat dua aspek. Pertama adalah aspek obyektif yang terdiri atas sarana-sarana yang digunakan, kekayaan alam yang diolah, dan kerja yang di curahkan dalam aktivitas produksi. Kedua adalah aspek subjektif yang terdiri atas motif psikologis, tujuan yang hendak dicapai lewat aktivitas produksi, dan evaluasi aktivitas produksi menurut berbagai konsepsi keadilan yang dianut.
Sebagai seorang sarjana muslim Irak, Muhammad Baqir As-Sadr telah memaparkan dengan amat argumentatif bahwa ada proses penemuan yang kemudian disebut dengan epistemologi iqtishad. Ini kemudian mendorong kerangka dan metode yang ditawarkan oleh Muhammad Baqir As-Sadr diikuti oleh ekonom muslim lainnya. Bahkan setelah ia wafat dengan tragis, metodenya dikembangkan tetapi tetap kuat bertumpu pada akar nalar dan epistemologi yang digunakan oleh Muhammad Baqir as-Sadr dalam proses penemuan doktrin ekonomi islam. Akhirnya, pemikiran dan metode ekonomi Muhammad Baqir as-Sadr menjadi mazhab tersendiri dalam ekonomi islam.
D.                Epistemologi Mazhab Baqir as-Sadr: Penemuan dan Metodologi Iqtishad Mazhab Baqir as-Sadr
Bagaikan terjangkit oleh heterodoks, Muhammad Baqir as-Sadr tidak tertarik memaparkan metode iqtishad dalam satu kutub metodologis. Muhammad Baqir as-Sadr menempuh beberapa pendekatan untuk menghasilkan doktrin-doktrin ekonomi islam.
1.    Ijtihad Ekonomi Islam: Dari Ruang Kosong hingga Subjektivitisme Ekonomi islam.
Muhammad Baqir as-Sadr memulai pengembaraannya terhadap ekonomi islam dari ruang kosong hukum ekonomi islam. Menurut ia doktrin ekonomi islam memiliki dua sisi yaitu: satu sisi yang telah terisi secara sempurna hingga tidak memungkinkan lagi bagi adanya perubahan atau modifikasi, serta sisi lainnya yang masih merupakan ruang kosong. Ruang kosong disini memiliki makna sebagai ketiadaan aturan islam dan teks-teks legislasinya dalam kaitannya dengan ekonomi, berbeda dengan sisi praktis dan empiris yang selalu tumbuh dalam masyarakat, termasuk dalam komunitas islam.
2.    Dari Induksi hingga Hermeneutika: Basis-basis Metodologi Mazhab Baqir as-Sadr
Muhammad Baqir as-Sadr (2008) menyatakan bahwa aturan-aturan islam ditarik dari Al-qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw., yang diambil dari teks-teks hukum. Muhammad Baqir as-Sadr lebih cenderung menyebut proses menarik doktrin-doktrin ekonomi islam dari teks-teks islam ini dengan ijtihad untuk kemudian disebut dengan ijtihad iqtishadiah. Fondasi ekonomi islam menapak diatas teks-teks islam yang menjadi “pembeda” dengan ekonomi konvensional. Tidak hanya itu, tersedianya pandangan-pandangan subjektif yang telah ada dalam khazanah islam klasik membuat proses penemuan doktrin ekonomi islam jauh lebih kompleks. Dalam hal teks-teks islam, penemuan penemuan doktrin ekonomi islam tidak dapat dihasilkan dengan pembacaan skriptualisme, hanya berorientasi bayani semata-mata yang non-mainstream.
Dalam bukunya yang berjudul Al-Asas al-Mantiqiah Lil-Istiqra’i, Muhammad Baqir as-Sadr mengemukakan bahwa proses pencarian basis-basis argumentasi pada dasarnya dikategorikan pada dua pendekatan. Yang pertama al-istinbath dan yang kedua al-istiqra’i. Namun pada akhirnya Muhammad Baqir as-Sadr memilih pendekatan al-istiqra’i karena lebih cenderung menggunakan induksi sebagai sebuah metode.
3.    Al-Istiqra’i (Metode Induktif): Definisi, Model, dan Penerapannya pada Penelitian Ekonomi Islam
Muhammad Baqir as-Sadr menyebutkan bahwa al-istiqra’i merupakan metode yang khas dan spesifik yang berbeda dengan metode lainnya. Dalam metode al-istinbath, seringkali permainan sintaksis digunakan. Menurut Muhammad Baqir as-Sadr al-istiqra’i adalah metode yang berangkat dari teks-teks partikular (al-juz’i) dan dengannya melahirkan pernyataan umum (muqadimath akbar). Dalam makna populer, al-istiqra’i di definisikan dengan proses pencarian basis argumentasi dari argumen-argumen khusus dan bergerak ke pernyataan umum. Sederhananya adalah mengambil kesimpulan umum dari fakta-fakta khusus.
Pentingnya menggunakan metode al-istiqra’i terletak pada kemampuan metode ini mengungkap, mengurai, menghubung-hubungkan secara intertekstual berbagai teks yang terkait dalam satu tema penelitian, khususnya ekonomi islam sehingga melahirkan makna tekstual yang koheren dan komprehensif. Jika dimaknai lebih dalam lagi, sesungguhnya metode al-istiqra’i adalah sebuah loncatan dari metode berpikir yang bersandar pada kerangka berpikir klasik islam ke arah berpikir nabawiyyah. Dalam perkataan lain, metode al-istiqra’i adalah sebuah modifikasi dari tradisi filsafat yunani kuno. Metode al-isiqra’i melampaui dan lebih spesifik menjadikan teks-teks islam, Al-qur’an dan Sunah sebagai materi membangun proposisi-proposisi partikular (al-muqaddimah al-juz’iah) untuk kemudian diracik menjadi muqadimah akbar.
Pada dasarnya, metode al-istiqra’i merupakan sebuah proses melahirkan kesimpulan setelah sebelumnya mengumpulkan, mengkategorikan, dan menghubung-hubungkan teks-teks dalam satu tema kecil. Proses ini disebut dengan proses intertekstual.
4.    Hermeneutika Ekonomi: Pembacaan Alternatif atas Teks dan Tingkah Laku Ekonomi Islam.
Seperti yang ditegaskan oleh Muhammad Baqir as-Sadr, ekonomi islam memiliki karakter subjektivitas dengan intensitas penyandaran diri yang tinggi pada teks-teks islam, terutama Al-qur’an dan Sunah.
Hermeneutika ekonomi pada dasarnya memahami berdasarkan “native point of view” seperti yang dilakukan oleh kebanyakan antropologi layaknya Clifford Geerzt. Dalam konteks ini, tidak berlebihan jika beberapa ekonom menganjurkan hermeneutika sebagai sebuah pendekatan. Kesadaran untuk menggunakan metode hermeneutika sosial dalam ekonomi muncul seiring tumbuhnys “gap” antara kesimpulan, teori, dan asumsi yang dilahirkan ekonom tentang tindakan manusia.
Mendekati ekonomi dengan menggunakan metode hermeneutika sebagai sebuah metode menjadi mungkin. Namun tampaknya metode ini lebih cenderung digunakan pada teks-teks. Niscaya ketika menggunakan hermeneutika untuk Al-qur’an dan Hadis tentu saja “mungkin”.
Palmer (1969) melihat ada dua wajah dalam hermeneutika. Pertama, umumnya hermeneutika dimaknai sebagai sebuah teori untuk memahami (the theory of understanding). Kedua, hermeneutika secara intens dilibatkan sebagai metode menafsirkan teks-teks linguistik.
Dalam pemaknaan lain tetapi selaras, rasionalitas dalam masyarakat islam diartikan sebagai rasionalitas yang diderivasi dari agama islam dan bersifat universal. Rasionalitas sesungguhnya sangat kuat hubungannya dengan kesadaran. Itu menjadi daya yang menggerakan dan akhirnya menjadi karakter dari setiap tindakan manusia.

BAB I
PENDAHULUAN

A.                Latarbelakang
sejauh ini kita telah mengetahui perbedaan-perbedaan antara paradigma yang mendasari ekonomi konvensional dengan paradigma yang mendasari ekonomi islam. Keduanya tidak mungkin dan tidak akan pernah mungkin untuk di satukan atau kompromikan, karena keduanya di dasarkan atas pandangan dunia yang berbeda. Pada ekonomi konvensional melihat ilmu sebagai sesuatu yang sekuler (berorientasi hanya pada kehidupan duniawi, kini dan disini) dan sama sekali tidak memasukkan Tuhan serta tanggung jawab manusia kepada Tuhan di akhirat dalam bangunan pemikirannya. Oleh karena itu, ilmu ekonomi konvensional menjadi bebas nilai. Sedangkan ekonomi islam melihat ilmu sebagai sesuatu yang religius. Ekonomi islam di bangun atau di warnai oleh prinsip-prinsip religius (berorientasi pada kehidupan dunia, kini dan di sini dan sekaligus kehidupan akhirat, nanti dan di sana).
Dalam tataran paradigma seperti ini, ekonom-ekonom muslim tidak menghadapi masalah perbedaan pendapat yang berarti. Namun, ketika diminta untuk menjelaskan apa dan bagaimana konsep ekonomi islam, mulai mrncullah pemikran ekonom-ekonom Muslim kontemporer yang diklasifikasikan menjadi tiga mazhab, yaitu: Mazhab Baqir as-Sadr, Mazhab Mainstream, dan Mazhab Alternatif-kritis. Pada pembahasan kali ini, akan menjelaskan tentang konsep islam menurut mazhab alternatif.
A.                Rumusan Masalah 
a.       Apa pandangan Mazhab Alternatif tentang ekonomi islam?
b.      Bagaimana Mazhab Alternatif dalam pandangan ekonomi islam?
c.       Kritikan Mazhab Alternatif terhadap pemikiran Mazhab Baqir as-Sadr dan Mazhab Mainstream?

B.                 Tujuan
a.    Dapat memahami pandangan alternatif tentang ekonomi islam.
b.   Dapat memahami Mazhab Alternatif dalam pandangan ekonomi islam.
c.    Dapat memahami kritikan Mazhab Alternatif terhadap pemikiran Mazhab Baqir As-Sadr dan Mazhab Mainstream.

















BAB II
PEMBAHASAN

A.                Pemikiran Mazhab Alternatif
Mazhab alternatif sering juga di sebut sebagai mazhab kritis. Pelopor mazhab ini adalah Timur Kuran (Ketua jurusan Ekonomi di University of Southern California), Jomo (Yale, Cambridge, Harvard,  Malaya), Muhammad Arif, dan lain-lain. Mazhab ini mengkritik kedua mazhab sebelumnya. Mazhab Baqir dikritik sebagai mazhab yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain. Menghancurkan teori lama, kemudian menggantinya dengan teori baru. Sementara itu, mazhab mainstream dikritiknya sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik dengan menghilangkan variabel riba dan memasukan variabel zakat serta niat.
Mazhab ini adalah sebuah mazhab yang kritis. Mereka berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga terhadap ekonomi islam itu sendiri. Mereka yakin bahwa islam pasti benar, tetapi ekonomi islam belum tentu benar karena ekonomi islam adalah hasil tafsiran manusia atas Al-qur’an dan Sunnah, sehingga nilai kebenarannya tidak mutlak. Proporsi dan teori yang diajukan oleh ekonomi islam harus selalu diuji kebenarannya sebagai mana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional.
1.                  Dari kritik ke Alternatif: Akar, Gagasan, dan Jejaring Mazhab Alternatif
El-Ashaker dan Wilson (2006) menulis, ”Sejak awal abad ke-21, jumlah proyek intelektual ekonomi islam telah berpengaruh begitu kuatnya terhadap corak dan struktur pemikiran ekonomi islam. ”Tidak kurang dari 700 judul yang orisinal dan komentar tentang ekonomi islam ditulis dari tahun 1950-an hingga akhir 1970an. Kenyataan ini mengukuhkan bahwa ekonomi islam terus berkembang seiring tumbuhnya minat yang besar di kalangan ekonom muslim untuk mengkaji ekonomi islam secara intens. Saat ini, hal itu semakin terasa ketika muncul beberapa mazhab kontemporer ekonomi islam, yakni mazhab Baqir as-Sadr , mazhab mainstream, kemudian ditingkahi oleh lahirnya mazhab alternatif yang menjadi ”pertanda” bahwa ekonomi. Tidak tunggal, cendrung bersifat heterodoks, kini tampak jelas dalam perwajahan ekonomi islam.
Bagaikan sebuah takdir,setiap mazhab pemikiran tidak pernah selamat dan terbebas dari kritik sehingga cenderung “bertempur’ satu dengan yang lainnya. Kenyataan ini tampak jelas dalam ekonomi islam kontemporer. Kenyataannya, antara mazhab Baqir as-Sadr, mazhab mainstream, dan mazhab alternatif ada ketidaksesuaian sehingga mereka pun harus membuat jarak dalam ekonomi islam: semacam garis demarkasi yang membedakan pemikiran mereka satu dengan yang lainnya. Berbagai analisis tentang fenomena ekonomi bertumbukkan dalam setiap mazhab pemikiran ekonomi, termasuk ekonomi islam kontemporer sekalipun. Ini adalah konsekuensi dari upaya manusia untuk memahami fenomena ekonomi. Agaknya tidak berlebihan jika schumpeter (2006) memandang bahwa sejarah ekonomi adalah sejarah intelektual yang lahir meninggalkan jejak ketika manusia mencoba memehami fenomena ekonomi.
Intensitas pengomparasian sistem ekonomi akan mengantarkan sejarawan ekonomi memahami transformasi dan kriteria setiap pemikiran ekonomi yang tumbuh di sepanjang patahan-patahan pemikiran ekonomi, tidak terkecuali dalam ekonomi islam. Teori-teori ekonomi dihasilkan, ideologi tumbuh, dan berbagai penelitian di produksi. Tumbuhnya fase kontemporer ekonomi islam agaknya adalah mata rantai dari semangat pemikiran ekonomi yang tumbuh di dunia muslim sebelumnya pada fase klasik. Kendati pada fase-fase klasik pada pemikiran ekonomi oleh cendekiawan muslim terfragmentasi, tidak utu, bahkan cenderung bercampur dengan tema-tema lain, proyek intelektual itu setidaknya, telah mempengaruhi konstruksi pemikiran ekonomi islam di fase kontemporer.
Menguatnya gerakan eknomi islam, lengkap dengan geliat struktur ekonomi yang ditawarkannya seperti tumbuhnya perbankan dan keuangan islam merupakan fakta yang menguatkan bahwa penggabaian peran historis sarjana muslim terhadap perkembanga pemikiran ekonomi oleh Joseph A. Schumpeter adalah naif. Dikatakan naif karena pengabaian ini tersingkap secara alamiah, tidak dapat di bendung ketika sistem ekonomi barat yang di puji-puji semakin hari semakin memperlihatkan kelemahannya. Ini mendorong tumbuhnya kesadaran di kalangan umat islam untuk kembali membaca diri, menemukan kepinga-kepingan berharga dari setiap pemikiran ekonomi yang pernah ditawarkan oleh sarjan-sarjana muslim klasik, bahkan telah dipraktikkan sebagai sebuah sistem kebijakan ekonomi.
Kini, pada fase kontemporer, pemikiran ekonomi islam terus digali, ditafsir ulang, dikontekstualisasikan hingga diterjemahkan secara sistematis sehingga melahirkan semacam spektrum akonomi islam yang unik, dan terdiferensiasi apabila dibandingkan dengan sistem ekonomi konvensional. Ada pengaruh kinerja intelektual yang dibangun oleh sarjan muslim klasik, khususnya dalam tema ekonomi, terhadap tumbuh dan berkembangnya, aliran scholasticism Eropa.  Pengaruh ini kini diteruskan secara intensif dalam pengembangan ekonomi islam sehingga mudah menemukan adanya benang merah antara struktur logis pemikiran ekonomi sarjana muslim klasik dengan struktur logis pemikiran ekonomi islam kontemporer, khususnya dalam mazhab Baqir as-Sadr, Mainstrean, dan mazhab alternatif.
a)    Menapak di atas Ktitisisme: Akar dan Konteks Lahirnya Mazhab Alternatif
Kapitalisme lanjut (the late capitalism) telah mencengkram kehidupan ekonomi dunia dengan kuatnya. Tidak sekedar mencengkram, kapitalisme kini tumbuh dalam bentuk yang super hebat, halus, dan kasar. Ada paradoks dan ambivalensi yang menyertai tumbuhnya kapitalisme menjadi sistem budaya ekonomi.  Wacana ekonomi global yang dikendalikan oleh sistem kapitalisme lanjut menjadi sebuah arena sirkuit tempat perlombaan kecepatan, persaingan, kepanikan, dan kegilaan pertunjukan. Hal ini mengabungkan satu kalimat bahwa kapitalisme telah menjadi mekanisme tunggal yang kompleks untuk tidak mengatakannya sebagai virus yang memicu banyak gangguan terhadap tubuh sosial.
Kapitalisme lanjut telah melahirkan satu sindrom yang kelihatan sederhana, tetapi sesungguhnya memiliki fungsi yang penting dan besar bagi budaya ekonomi global sekrang ini. Setiap gerak ekonomi dan struktur perilaku ekonomi kini diarahkan untuk menjawab, merespon, dan memberikan “gizi” terbaik bagi tumbuhnya konsumerisme sebagai budaya sekaligus identitas kapitalisme lanjut. Pasar konvensional dijadikan sebagai arena jual beli atau transaksi barang dan jasa menjelang abad ke 21 berubah wujud menjadi super pasar atau hipermarket, yaitu pasar yang melampaui engertian pasar yang konvensional. Pasar-pasar modern dari hipermarket hingga virtual market  tidak lagi sekedar tempat terjadinya transaksi, tetapi telah menjadi ruang tempat terjadinya akulturasi, sebuah tempat belajar, tempat mencari nilai-nilai, tempat membangun citra diri, tempat merumuskan esistensi diri, tempat mencari makna kehidupan, tempat pertapaan, tempat terapijiwa, serta tempat upacara ritual abad ke 21 berlangsung secara terus menerus dengan skala yang terus meluas.
Stanford (2008) menyatakan bahwa kapitalisme telah berlangsung dan tumbuh dengan suburnya selama 300 tahun. Ini menjadi “pertanda” bahwa kapitalisme lanjut telah menjadi sesuatu yang kompleks dengan tingginya tingkat ketergantungan padanya, lengkap dengan paradoks serta kontradiksi yang dihasilkan oleh kapitalisme lanjut ini. Krisis siklis, dehumanisasi ekonomi, dan konglomerasi telah menjadi paradoks kapitalisme lanjut yang tidak bisa disingkirkan, bahkan tampaknya menumbuh dengannya.
Elster dan Moene 1993 menulis bahwa kapitalisme telah meninggalkan banyak kejelekan, irasionalitas, cara-cara dalam melakukan produksi serta distribusi barang dan jasa. hal lainnya adalah pengangguran yang masih begitu jelas kendati Elster dan Moene 1993 menyatakan sosialisme tidak dapat dinilai dengan kepercayaan diri yang tinggi sebagai sistem yang lebih baik daripada kapitalisme minimal kritik yang lahir dari rahim sosialisme agaknya mampu melacak akar paradoks dan dilema yang dilahirkan oleh kapitalisme baik dari stuktur ekonomi maupun dalam struktur sosial ketika kapitalisme masuk kedalamnya
Karatani (2003) memaparkan bahwa dikalangan Marxisme, krisis merupakan kritik fundamental terhadap teori ekonomi. Menurut kalangan Marxisme mereka yang terlanjur menawarkan sosialisme sebagai solusi uang adalah akar dari krisis kapitalisme. seharusnya uang tidak diposisikan sebagai komuditas, melainkan sebagai mediasi instrumental yang dalam kapitalisme dikenal dengan istilah ”self reproductive money”, istilah yang lahir karena perdagangan ”capital”. sederhananya, Karl Marx menyimbolkan hal ini dengan M-C-M. Uang ditransaksi sebagai komuditas untuk melahirkan uang dalam jumlah yang lebih besar. Ini menjadi akar dari eksploitasi nilai lebih (the exploitation of surplus values). Pada titik ini kapitalisme telah mendorong terbukanya pintu “dehumanisasi” ekonomi karena “uang” menjadi instrumen satu-satunya untuk mengukur nilai. Hal lain yang di kritik oleh sosialisme terhadap kapitalismenadalah problem monopoli yang lahir secara sehat dari rahim kapitalisme. Hoppe (2010) menegaskan bahwa sosialisme lebih ekonomis dan bermoral daripada kapitalisme. Bagi sosialisme, hal ini terbilang naif. Ini dikatakan naif karena sesungguhnya yang ada di dalam aktovitas ekonomi adalah ego individual. Inilah akar paradoks yang lain dalam kapitalisme. Kini sosialisme telah mendominasi spirit modern, dalam makna ada banyak masa yang menyetujui dan mengekspresikannya.
Menurut ludwig van misses, salah satu doktrin terkuat yang dimiliki oleh sosialisme adalah kritiknya yang tajam terhadap masyarakat burjuis.Meskipun sosialisme memiliki sisi kritik yang kuat, sosialisme tidak bisa terlepas dari kritik yang tajam, bahkan meruntuhkan banyak “idealisme” yang di bangun oleh sosialisme. Misses 1962 memaparkan bahwa sosialisme disalah pahami dalam hal bekerjanya mekanisme ekonomi, yaitu ketika sosialisme tampaknya kurang paham tentang fungsi berbagai institusi sosial yang berbasis pada pembagian kerja dan kepemilikan privat. Memang tidak mudah memaparkan kesalahan teori sosialis dengan menggunakan teori ekonomi, tetapi kritik akan lebih tepat dilakukan terhadap doktrin yang dilahirkanoleh sosialisme. Hal ini tidak terlepas dari utopia yang terkandung dalam doktrin  sosialisme, hal yang tidak akan ditemukan dalam sistem kapitalisme lanjut.
Sosialisme mengambil jalan kritik sebagai sebuah prosesdengan mengacu pada pandangan Marxisme bahwa kondisi sosial sangat determinatif dengan jalan pemikiran.Kritik terhadap teori-teori ekonomi kapitalisme hingga dekosntruksi terhadap doktrin neoklasik ekonomi menjadi proses dominan yang dilalui dan ditempuh oleh kalangan sosialisme, bahkan ditradisikan. Kesetaraan yang diinginkan oleh sosialisme dapat diukur berdasarkan tiga orientasi. Dengan perkataan lain,kesetaraan yang “diusung” dan “dicita-citakan” sosialisme setidaknya dapat dilihat dari terealisasinya tiga orientasi ini dalam kehidupan sosial-ekonomi.
Roener (1994) memaknai ”self-realization” atau realisasi diri sebagai sebuah aplikasi dari talenta individual dalam menapaki jalan atau ekonomi untuk menggapai “kehidupan yang bermakna”. ini merupakan spesifikasi konsepsi Marxisme yang kemudian populer dengan istilah “human flourishing”. Dipihak lainnya, mengacu pada pandangan Hodgson (2001), sosialisme dalam bentuk idealnya mendorong “kesetaraan” dan “kooperasi”. Tambahan kata kooperasi dalam pandangan Geoffrey M. Hodgson setidaknya mengukuhkan perbeaan yang semakin jelas antara sosialisme dan kapitalisme. Karakter sosialisme, khususnya  dalam bentuk kooperasi setidaknya mempertegas ada semangat kolektif dan komunalisme yang tumbuh dalam sosialisme.Semangat ini kemudian yang memengaruhi corak dan warna teori dan kritik sosialisme terhadap kapitalisme ;semangat yang tidak akan pernah ditemukan,apalagi diajarkan dalam kapitalisme.
Sesungguhnya, Kapitalisme hanya mengandalkan individualisme. Implikasinya secara mendalam dan kuat melekat pada doktrin kapitalisme seperti ”maksimalisasi utilitas” dan pengejaran “self interest” secara utuh, bahkan cenderung berlebihan.Burczak (2009) pernah menulis bahwa sosialisme klasik adalah sebuah gerakan untuk menggantikan ketidakteraturan dan eksploitasi institusional yang ada serta melekat secara kuat pada kapitalisme.
Arnold (1994) pernah menulis, ”Kurang lebih 150 tahun, satu pertengkaran dan perselisihan intelektual antara pembela kapitalisme dan sosialisme begitu kentara. ”Perbedaan basis nilai, ketidaksamaan tujuan, hingga perbedaan doktrinal adalah penyebab mengapa kapitalisme dan sosialisme tampaknya akan selalu bertentangan dan tidak akan bisa disatukan. Kronik dari pertengkaran ini.
Menurut pandangan saya, praktik ekonomi Islam dengan hadirnya lembaga-lembaga keuangan syariah bisa dikatakan mengikuti mazhab mainstream. Lembaga-lembaga keuangan ada yang lebih dulu dimunculkan ekonomi modern tersebut dimodifikasi sedemikian rupa agar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Kalau kita sadar sejarah, motode eklektislah yang lebih tepat untuk mengembangkan ilmu ekonomi Islam itu. Artinya, ekonomi Islam harus berkomunikasi, berdialog dan berhubungan dengan ilmu ekonomi modern yang memang sudah mapan.

by: soleha
|
This entry was posted on 22.03 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: