Hadis Tentang Kafalah
Dan Hawalah
Diajukan sebagai
tugas makalah kelompok untuk memenuhi
mata kuliah Hadis
Iqtishadi
Disusun
Oleh:
1.
Wida Yusari (13631057)
EPI 4 B
Dosen Pengampu:
Busra Febriyarni, M.Ag
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH
SKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN CURUP)
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia hidup tak selalu berada pada keadaan mudah,
terkadang ada hal-hal yang membuat hidup manusia menjadi sulit. Terkadang penuh
kelapangan, dan terkadang kekurangan dan membutuhkan bantuan. Karena itulah, dalam kehidupan sehari-hari,
hutang piutang sudah menjadi hal yang biasa. Syariat Islam melihat secara umum,
bahwa aktifitas hutang piutang atau pinjam meminjam, sejatinya adalah salah
satu bentuk pelaksanaan ajaran tolong menolong antara manusia yang sangat
dianjurkan dalam Islam.
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak
terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang
membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia
sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah
ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan
pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari
pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya
pinjaman. Dalam ajaran Islam, hutang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan,
tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah hadis yang membahas tentang kafalah dan kandungan
makna dan istinbath hukumnya?
2.
Apakah hadis yang membahas tentang hawalah dan kandungan
makna dan istinbath hukumnya?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui hadis yang membahas tentang kafalah
dan kandungan makna dan istinbath hukumnya.
2.
Mengetahui hadis yang membahas tentang hawalah dan kandungan
makna dan istinbath hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hadis Tentang Kafalah
A.
Hadis tentang kafalah
Hadis dan terjemahan
.................................................................
..................................................
Arti hadits:
Diriwayatkan
dari Yahya bin Bakir dari al-Laits dari Aqil dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah
dari Abu Hurairah ra. Bahwasannya Rasulullah saw. Didatangkan kepadanya mayat
seorang laki-laki, yang memiliki utang.maka Rasulullah saw. Bertanya: apakah
dia memiliki utang. Jika disampaikan kepadanya bahwasannya orang yang meninggal
tersebut meninggalkan pengganti untuk utangnya maka Rasulullah menyolatkannya.
Jika ia tidak meninggalkan sesuatu untuk membayar utangnya, maka Rasulullah
berkata kepada bagi orang-orang muslim: sholatlah kalian atas teman kalian ini.
Ketika Allah memberikan kemenangan (penaklukan kota Mekkah) rasulullah saw bersabda:
saya lebih berhak atas orang-orang mu’min dan meninggalkan utang maka saya yang
bertanggung jawab atas utangnya, dan jika dia meninggalkan harta maka untuk
ahli warisnya. (HR. Bukhari).
2.
Kandungan makna dan
istinbath hukum
Al-kafalah adalah bentuk masddar dari kafala dengan
arti melakukan komitmen. Secara terminologi adalah komitmen dari orang yang
cerdad dengan ridhanya untuk menghadirkan orang yang memiliki hubaungan hak
keuangan kepada pemilik hak keuangan tersebut.
Kafalah dapat sah dengan ungkapan-ungkapan dimana
akad penjaminan sah dengannya seperti ungkapan: aku menjamin (dhamin) dengan
tubuhnya ddan menanggungnya, karena kafalah merupakan bagian dari dhaman.
Kafalah ditetapkan dalam firman Allah swt, “aku sekali-kali tidak akan melepaskan (pergi
bersama-sama, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama
Allahbahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu
dikepung musuh.” QS. Yuusf :66.[1]
Berdasarkan
hadis diatas dapat dikeluarkan kandungan yang terdapat pada hadis tersebut:[2]
a. Rasulullah
tidak mau menyolatkan orang yang meninggl dunia tetai masih memilikii utang dan
tidak memiliki harta yang dapat diambil untuk pelunasan utangnya.
b. Setelah
Fathul Makkah, maka orang mu’min yang
meninggal dunia utangnya dijamin oleh Rasulullah.
c. Orang
mu’min yang meninggal dunia dan meninggalkan warisan. Maka warisannya itu hak
ahli warisnya.
Memperhatikan hadis diatas, maka makna kafalah
diambil dari kata yang bermakna jaminan yang diberikan Rasulullah atas orang
yang mu’min yang meninggal dunia dan orang mu’min tersebut meninggalkan utang.
Pada hakikatnya pemberian kafalah ini akan
memberikan kepastian dan keamanan pihak ketiga untuk melaksanakan isi
perjanjian/kontrak yang telah disepakati tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu
dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk memenuhi prestasinya.
Kafalah
adalah perjanjian pemberian penjaminan atau penanggungan. Dalam perjanjian, kafalah diperjanjikann bahwa seseorang
memberikan hutang kepada seorang debitur, yaitu menjamin bahwa hutang kreditur
akan dilunasi oleh penjamin apabila debitur tidak membayar hutangnya.[3]
Dalam hadis lain Rasulullah saw bersabda:
.....................................................................
Dan Jabar, ia
berkata: Telah wafat seseorang dari kami, lalu kami memandikannya,
mengapasinya, dan mengkafaninya. Kemudian kami membawanya kepada Rasulullah saw
dan kami bertanya, “Apakan Tuan mau sholatkan dia?” Lalu beliau melangkah
beberapa langkah dan bertanya, “adakan utang atasnya?” kami jawab, “Dua dinar”
Beliau berpaling. Maka,Abu Qatadah menanggung (bayar) dua dinar itu. Lantas
kami datang kepada beliau, lalu Abu Qatadah berkata. “Dua dinar itu atas
tangungan saya. “Beliau berkata, “betul-betul engkau tanggung dan terlepas dari
mayat ini? “Ia jawab, “Betul,”Maka, beliau sholatkan jenazahnya. (HR
Ahmad dan Abu Daud).
Kafalah daman
dibenarkan oleh nabi, terbukti dari hadis diatas dimana seseorang diperbolehkan
menjamin hutang orang lain. Damann adalah menjamin hutang atau menghadirkan
benda atau orang ketempat yang ditentukan.
Rukun dan syarat kafalah berdasarkan fatwa Dewan
Syari’ah Nasional.
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 11/DSN-MUI/IV/2000,
disebutkan mengenai rukun dan syarat kafalah adalah:
1. Rukun
kafalah
Bagi kafi/pemberi
jaminan/penjamin/guarantor, berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor
11/DSN-MUI/IV/2000:
a. Baligh
(dewasa) barakal sehat
b. Berhak
penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartany dan rela (ridha)
dengan tanggungan kafalah tersebut.
Bagi makful bih (sesuatu yang dijadikan
sebagai jaminan atau setiap hak yang boleh diwakilkan kepada orang lain, atau
hutang (harta) yang dijaminkan/objek). Berddasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Nomor 11/DSN-MUI/VI/2000:
a. Merupakan
tanggungann pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang, benda, maupun
pekerjaan
b. Bisa
dilaksanakan oleh penjamin
c. Harus
merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah
bayar atau dibebaskan
d. Harus
jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya
e. Tidak
bertentangan dengan syariah (diharamkan)
Bagi makful anhu ( yang meminta jaminan/orang
yang dituntut dengan harta/nasabah). Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Nomor 11/DSN-MUI/VI/2000:
a. Sanggup
menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin,
b. Dikenal
oleh penjamin.[4]
Bagi
makful lahu(pihak yang menerima
surrat jaminan dan kafil).
Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 11/DSN-MUI/VI/2000:
a. Diketahui
identitasnya
b. Dapat
hadir pada waktu akkad atau memberikan kuasa
c. Barakal
sehat
2. Syarat-syarat
kafalah
Bagi kafil (penjamin
atas kewajiban makful anhu)
a. Kafil
akan mengeluarkan bank garansi apabila diminta dengan izin yang sah dari makful anhu(nasabah).
b. ketika
kafil menjamin ulang makful anhu, maka jaminan atas itu atas
nama makful anhu.
c. Kafil
tidak mempunyai hutang kepada makful
anhu, (seolah-olah kafil menjamin
padahal dia sendiri mempunyai hutang kepada makful
anhu).
d. Mampu
melunasi atau membayar kewajiban makful
anhu.
e. Orang
yang ditanggung(dijamin) tidak bebas tanggung jawab penjaminnya bebas. Jika
orang yang ditanggung bebas tanggung jawabnya, maka bebas pula tanggung jawab
penjaminnya.
f. Kafili diizinkan
mamberikan jaminan lebih dari satu pihak dan diperbolehkan sebagai penjamin
kedua makful anhu yang sama dan juga
dalam proyek/usaha yang sama.
g. Jika
dalam pertanggungannya berupa harta, lalu orang yang ditanggungnya meninggal
dunia, maka kafil bertanggung jawab
dalam harta tersebut.
h. Diperbolehkan
memberi persyaratan khusus kepada makful
anhu untuk menitipkan hartanya.
Bagi makful anhui (nasabah atau nama yang
dijaminkan oleh kafil dan disebut
dalam surat jaminan)[5]
a. Dikenal
secara baik oleh kafil dan mempunyai
reputasi yang baik sebelumbya.
b. Mempunyai
kemampuan untuk membayar dan menyerahkan hutangnya ke kafil
c. Tidak
ada jaminan, kecuali ada hak (kewajiban) atau yang akan timbul seperti akad
upah.
d. Makful
anhu diperbolehkan meminta lebih dari satu kafil
(pihak surat jaminan).
Bagi
makful lahu (penerima surat jaminan)
a. Mempunyai
hubungan yang jelas dengan makful anhu.
b. Mempunyai
hak untuk menagih kewajiban yang telah dilalaikan oleh makful anhu kepadda
kafil.
Bagi
mafkul bih (sesuatu yang dijadikann jaminan)
a. Jumlah
hutang dan jatuh tempo hutang harus jelas dadn benar,
b. Bersifat
mengikat dan tidak dapat digugurkan kevuali dengan cara membayarnya atau
terjadinya pengguguran hak yang dilakukan oleh pemilik hak,
c. Ketika
mafkul anhu mengalami ciderajanji dengan makful lahu, maka pihak kafil
diperbolehkan meminta komisi. Besar komisi sesuai dengan kesepakatan bersama.
Dapat
disimpulkan bahwa kafalah dapat dan boleh diterapkan dalam berbagai bidang
dalam lapangan muammalah, menyangkut jaminan atas harta benda dan jiwa manusia.
Objek
kafalah
Kafalah tidak sah kecuali di dalam masalah harta, bukan
fisik, oleh karena itu, sesungguhnya kafalah sah engan menghadirkan tubuh
setiap orang yang memiliki benda penjaminannya sepeti pinjaman untuk
dikembalikan atau dikembalikan kompensasinya apabila rusak sebagaimana ssah
dengan menghadirkan fisik orang yang memiliki utang.
Kafalah sah dengan hal tersebut masing-masing barang
perniagaan dan utang merupakan hak harta.
Adapun hak-hak yang berhubungan dengan fisik, maka
kafalah tidak sah, karena ia tidak dapat dilunasi atau dibayarkan kecuali
dengan fisik yang sama dimana hak tersebut wajib padadnya.
Hal-hal seperti hudud yang merupakan hak Allah atau hukum
hudud yang merupakan hak Adami seperti menuduh berzina dan qisas, maka tidak
sah kafalah didalamnya, karena ia tidak mungkin dilunasi oleh orang yang di
jamin.
Tidak sah juga kafalah (jaminan) pada hak-hak perkawinan
yang bersifat fisik, yaitu harta warisan dan pergaulan serta hal lainnya dari
setiap hak yang berhubungan dengan fisik orang yang dijamin secara khusus.[6]
3. Aplikasi
kafalah dalam perbankan
Kafalah pada perbankan
biasanya diberikan dalam bentuk garansi bank. Garansi bank diberikan kepada
nasabah yang ingin ikut lelang tender proyek, baik pembangunan i nfrastruktur
maupun pengadaan barang atau jasa. Pemberi proyek biasanya tidak bisa percaya
sepenuhnya kepada peserta lelang atau tender proyek. Maka pemberi proyek
memberi persyaratan agar ada yang menjain oenyelesaian proyek tersebut jika nanti mereka memenangkan proyek
tersebut.[7]
2. Hadis
tentang hawalah
A.
Hadis dan terjemahan
.....................................
B.
Kandungan makna dan
istinbath hukum
Hiwalah
dalam hukum islam tidak hanya menjadi sesuatu yang dibolehkan tetapi juga
merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan dalam ajaran islam. Hal ini melihat
kepada hikmah yang terdapat dalam hiwalah tersebut hiwalah dilegalkan oleh
Rasulullah saw. Dalam rangka memberi solusi kepada orang yang berutang dimana
utangnyagnya. Sementara orang yang memberi utang tidak mampu lagi memberi
kelonggaran kepada orang yang berhutang. Maka
sudah jauhtempo, tetapi belum memiliki kemampuan untuk melunasi
utangnya. Sementara orang yang memberi utang tidk mampu lagi memberi
kelonggaran kepada orang yang berhutang. Maka solusi yang ditawarkan oleh fiqh
adalah orang yang berhutang mengalihkan hutangnya kepada orang yang mampu untuk
membayarkann utangnya kepada orang yang memberi utang tersebut.
Penundaan utang pada hadis ini dikatakan merupakan
perbuatan zalim. Zalim merupakan perbuatan dossa, perbuatan dosa apabila
dilakukan haram hukumannya. Maka dapat disimpulkan bahwamenunda-nunda pembayaran
utang padahal orang tersebut mampu untuk membayarnnya maka dapat dikatakan
hukumnya haram.
Hadis tersebut juga menjelaskan bahwa Rasulullah saw.
Memerintahkan kepada pemilik utang, apabila utangnya dipindahkan kepada pemilik
urang, apabila utangnay dipindahkan kepada orang lain yang kaya dan mampu,
hendaklah pemindahan tersebut diterima. Dengan demikian, penagihan uatang
berpindah dari orang yang berutang kepada muhal alaih. Hanya saja apakah
perintah tersebut menunjukkan wajib atau
sunah. Menurut kebanyakan ulama Hanabilah, Ibnu Jarir, Abu Tsaur dan Zhahiriah,
pemilik utang wajib menerima pemindahan utang tersebut. Akan tetap, menurut
jumhur ulama, perintah terebut menunjukkan sunnah.[8]
Hiwalah secara bahasa berarti pemindahan. Sedangkan
secara istilah hiwalah berarti perpindahan hutang piutang dari tanggungan muhil
kepada muhal ‘alaih.
Hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang yang
berhutang kepada orang liain yang wajib menanggungnya. Ketentuan umum dalam
hiwalah adalah:
1. Muhil,
yakni orang yang berhutang sekaligus berpuitang.
2. Muhal
atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil,
3. Muhal
‘alaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib wajib membayar hutang
kepasa muhtal,
4. Muhal
bih yakni utang muhil kepada muhtal, dan
5. Sighat
(ijab-qabul).
Pernyataan
ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk meneunjukkan kehendak
mereka ddalam mengadakan kontrak (akad).
C. Aplikasi
hawalah dalam perbankan
Hawalah dalam perbankan
biasanya diberikan kepada jassa bank dalam pengambilalihan piutang dari pihak
lain. Seperti anjak piutang, credit card, dan take over.
Pada factoring (anjak
piutang), ban disini berfungsi sebagai lembaga yang menyerahkan sejumlah dana
kepada eksportir sebelum barang dikirimkan. Selanjutnya eksportir mengirim
barang pesanan importir. Setelah barang sampai kepada importir, maka bank
menagih sejumlah bayaran sesuai dengan barang yang telah dipesan. Dan atas
jasanya ini bank mendapatkan sejumlah fee.[9]
Jernis-jernis al-wakalah
1.
Wakalah al-mutlaqah
Wakalah
al-mutlaqah ialah mewakilkan secara mutlak tanpa batasan waktu atau
urusan-urusaan tertentu.
2.
Wakalah al-muqayyadah
Dalam
kontrak ini pihak pertama menunjukan pihak kedua sebagai wakilnya untuk
bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu.
3.
Wakalah al-aamanah
Wakalah
al-amanah adalah bentuk wakalah yang lebih luas dari al-muqayyahdah tetapi
lebih sederhana dari al-mutlaqah.[10]
Bab III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kafalah dan Hiwalah termasuk kajian fiqih muamalah yang
aplikasinya diimplementasikan dalam dunia perbankan syari’ah. Hal ini juga
membuat tercertusnya Fatwa Dewan Syari’ah Nasional yang mengatur tentang
prosedur implementasi kafalah dan hiwalah agar terterapkan dengan baik. Fatwa
DSN yang menetapkan tentang kafalah yaitu Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
No.11/DSN-MUI/IV/2000 dan Fatwa DSN yang menetapkan hiwalah yaitu Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No.12/DSN-MUI/IV/2000.
MUI/IV/2000 dan Fatwa DSN yang menetapkan hiwalah yaitu
Fatwa Dewan Syari‟ah
Nasional
No.12/DSN-MUI/IV/2000. Hutang piutang sudah menjadi hal yang lumrah, namun
dalam aplikasi yang nyata alangkah lebih baiknya bila kita menjalankannya
sesuai syariat Islam. Dimana, bila kita menjalankannya sesuai syariat
agama akan memberikan nilai tambah yang lebih baik seperti, tidak memberatkan
pihak peminjam, pahala yang akan diberikan Allah SWT lebih besarnya nilainya
dibanding dengan pahala sedekah. Barang gadai adalah milik orang yang
menggadaikannya. Namun bila telah jatuh tempo, maka penggadai meminta
kepada Murtahin untuk menyelesaikan permasalah hutangnya, dikarenakan
hutangnya yang sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai.
Dengan adanya barang gadai tidak menjadikan keraguan pihak pemberi pinjaman
untuk memberikan hutang karena adanya jaminan yang diberikan penerima hutang
kepadanya. Pada hawalah dan kafalah, penanggung hutang yang menjamin hutang
hukumnya adalah sunnah. Dalam pelaksanaan kafalah harus ada kerelaan dan
keikhlasan dari penjamin hutang, tanpa ada paksaan serta memenuhi syarat-syarat
yang berlaku sesuai syariat agama Islam. Bila salah satu syariat tersebut tidak
terpenuhi maka penjamin tidaklah berhak menjadi seorang penjamin hutang
yang sah
Daftar Pustaka
Al Bassam dan Abdullah bin Abdurrahman. 2011. Syarah Bulughul Maram. Jakarta: Pustaka
Azzam
Febriyarni, Busra. 2013.
Hadis-Hadis Ekonomi. Dusun Curup,
Rejang Lebong: LP2 STAIN Curup
Muhammad. 2000. Sistem & Prosdur Operasional Bank
Syariah. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.
[1]
Al Bassam dan Abdullah
bin Abdurrahman. 2011. Syarah Bulughul
Maram. Jakarta: Pustaka Azzam. Hlm. 561
[2] Busra Febriyarni. 2013. Hadis-Hadis Ekonomi. Dusun Curup, Rejang
Lebong: LP2 STAIN Curup. Hlm.137-139
[3] Ibid., hlm. 140-141
[4] Ibid., hlm. 142
[5] Ibid., hlm. 143
[6] Al Bassam dan Abdullah bin Abdurrahman, op.cit., hlm. 562
[7] Busra Febriyarni, op.cit., hlm.
144-145
[10] Muhammad. 2000. Sistem &
Prosdur Operasional Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.
Hlm. 37
0 komentar: