Author: Unknown
•21.31


Hadis Tentang Kafalah Dan Hawalah
Diajukan sebagai tugas makalah kelompok untuk memenuhi
mata kuliah Hadis Iqtishadi



Disusun Oleh:
1.      Wida Yusari (13631057)
2.      Yesi PuspitaSari (13631037)

EPI 4 B

Dosen Pengampu:
Busra Febriyarni, M.Ag

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH
SKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN CURUP)
2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia hidup tak selalu berada pada keadaan mudah, terkadang ada hal-hal yang membuat hidup manusia menjadi sulit. Terkadang penuh kelapangan, dan terkadang kekurangan dan membutuhkan bantuan.  Karena itulah, dalam kehidupan sehari-hari, hutang piutang sudah menjadi hal yang biasa. Syariat Islam melihat secara umum, bahwa aktifitas hutang piutang atau pinjam meminjam, sejatinya adalah salah satu bentuk pelaksanaan ajaran tolong menolong antara manusia yang sangat dianjurkan dalam Islam.
Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman. Dalam ajaran Islam, hutang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya.

B. Rumusan Masalah
1.         Apakah hadis yang membahas tentang kafalah dan kandungan makna dan istinbath hukumnya?
2.         Apakah hadis yang membahas tentang hawalah dan kandungan makna dan istinbath hukumnya?

C.        Tujuan
1.         Mengetahui hadis yang membahas tentang kafalah dan kandungan makna dan istinbath hukumnya.
2.         Mengetahui hadis yang membahas tentang hawalah dan kandungan makna dan istinbath hukumnya.

BAB II
PEMBAHASAN

1.       Hadis Tentang Kafalah
A.          Hadis tentang kafalah
Hadis dan terjemahan
.................................................................
..................................................

Arti hadits:
Diriwayatkan dari Yahya bin Bakir dari al-Laits dari Aqil dari Ibnu Syihab dari Abu Salamah dari Abu Hurairah ra. Bahwasannya Rasulullah saw. Didatangkan kepadanya mayat seorang laki-laki, yang memiliki utang.maka Rasulullah saw. Bertanya: apakah dia memiliki utang. Jika disampaikan kepadanya bahwasannya orang yang meninggal tersebut meninggalkan pengganti untuk utangnya maka Rasulullah menyolatkannya. Jika ia tidak meninggalkan sesuatu untuk membayar utangnya, maka Rasulullah berkata kepada bagi orang-orang muslim: sholatlah kalian atas teman kalian ini. Ketika Allah memberikan kemenangan (penaklukan kota Mekkah) rasulullah saw bersabda: saya lebih berhak atas orang-orang mu’min dan meninggalkan utang maka saya yang bertanggung jawab atas utangnya, dan jika dia meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya. (HR. Bukhari).

2.         Kandungan makna dan istinbath hukum
Al-kafalah adalah bentuk masddar dari kafala dengan arti melakukan komitmen. Secara terminologi adalah komitmen dari orang yang cerdad dengan ridhanya untuk menghadirkan orang yang memiliki hubaungan hak keuangan kepada pemilik hak keuangan tersebut.
Kafalah dapat sah dengan ungkapan-ungkapan dimana akad penjaminan sah dengannya seperti ungkapan: aku menjamin (dhamin) dengan tubuhnya ddan menanggungnya, karena kafalah merupakan bagian dari dhaman.
Kafalah ditetapkan dalam firman Allah swt, “aku sekali-kali tidak akan melepaskan (pergi bersama-sama, sebelum kamu memberikan kepadaku janji yang teguh atas nama Allahbahwa kamu pasti akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung musuh.” QS. Yuusf :66.[1]

Berdasarkan hadis diatas dapat dikeluarkan kandungan yang terdapat pada hadis tersebut:[2]
a.       Rasulullah tidak mau menyolatkan orang yang meninggl dunia tetai masih memilikii utang dan tidak memiliki harta yang dapat diambil untuk pelunasan utangnya.
b.      Setelah Fathul Makkah, maka orang mu’min yang meninggal dunia utangnya dijamin oleh Rasulullah.
c.       Orang mu’min yang meninggal dunia dan meninggalkan warisan. Maka warisannya itu hak ahli warisnya.

Memperhatikan hadis diatas, maka makna kafalah diambil dari kata yang bermakna jaminan yang diberikan Rasulullah atas orang yang mu’min yang meninggal dunia dan orang mu’min tersebut meninggalkan utang.
Pada hakikatnya pemberian kafalah ini akan memberikan kepastian dan keamanan pihak ketiga untuk melaksanakan isi perjanjian/kontrak yang telah disepakati tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk memenuhi prestasinya.
Kafalah adalah perjanjian pemberian penjaminan atau penanggungan. Dalam perjanjian, kafalah diperjanjikann bahwa seseorang memberikan hutang kepada seorang debitur, yaitu menjamin bahwa hutang kreditur akan dilunasi oleh penjamin apabila debitur tidak membayar hutangnya.[3]
Dalam hadis lain Rasulullah saw bersabda:
.....................................................................
Dan Jabar, ia berkata: Telah wafat seseorang dari kami, lalu kami memandikannya, mengapasinya, dan mengkafaninya. Kemudian kami membawanya kepada Rasulullah saw dan kami bertanya, “Apakan Tuan mau sholatkan dia?” Lalu beliau melangkah beberapa langkah dan bertanya, “adakan utang atasnya?” kami jawab, “Dua dinar” Beliau berpaling. Maka,Abu Qatadah menanggung (bayar) dua dinar itu. Lantas kami datang kepada beliau, lalu Abu Qatadah berkata. “Dua dinar itu atas tangungan saya. “Beliau berkata, “betul-betul engkau tanggung dan terlepas dari mayat ini? “Ia jawab, “Betul,”Maka, beliau sholatkan jenazahnya. (HR Ahmad dan Abu Daud).
Kafalah daman dibenarkan oleh nabi, terbukti dari hadis diatas dimana seseorang diperbolehkan menjamin hutang orang lain. Damann adalah menjamin hutang atau menghadirkan benda atau orang ketempat yang ditentukan.
Rukun dan syarat kafalah berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional.
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 11/DSN-MUI/IV/2000, disebutkan mengenai rukun dan syarat kafalah adalah:
1.      Rukun kafalah
Bagi kafi/pemberi jaminan/penjamin/guarantor, berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 11/DSN-MUI/IV/2000:
a.       Baligh (dewasa) barakal sehat
b.      Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartany dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
Bagi makful bih (sesuatu yang dijadikan sebagai jaminan atau setiap hak yang boleh diwakilkan kepada orang lain, atau hutang (harta) yang dijaminkan/objek). Berddasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 11/DSN-MUI/VI/2000:
a.       Merupakan tanggungann pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan
b.      Bisa dilaksanakan oleh penjamin
c.       Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah bayar atau dibebaskan
d.      Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya
e.       Tidak bertentangan dengan syariah (diharamkan)

Bagi makful anhu ( yang meminta jaminan/orang yang dituntut dengan harta/nasabah). Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 11/DSN-MUI/VI/2000:
a.       Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin,
b.      Dikenal oleh penjamin.[4]

Bagi makful lahu(pihak yang menerima surrat jaminan dan kafil). Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 11/DSN-MUI/VI/2000:
a.       Diketahui identitasnya
b.      Dapat hadir pada waktu akkad atau memberikan kuasa
c.       Barakal sehat
2.      Syarat-syarat kafalah
Bagi kafil (penjamin atas kewajiban makful anhu)
a.       Kafil akan mengeluarkan bank garansi apabila diminta dengan izin yang sah dari makful anhu(nasabah).
b.      ketika kafil menjamin ulang makful anhu, maka jaminan atas itu atas nama makful anhu.
c.       Kafil tidak mempunyai hutang kepada makful anhu, (seolah-olah kafil menjamin padahal dia sendiri mempunyai hutang kepada makful anhu).
d.      Mampu melunasi atau membayar kewajiban makful anhu.
e.       Orang yang ditanggung(dijamin) tidak bebas tanggung jawab penjaminnya bebas. Jika orang yang ditanggung bebas tanggung jawabnya, maka bebas pula tanggung jawab penjaminnya.
f.       Kafili diizinkan mamberikan jaminan lebih dari satu pihak dan diperbolehkan sebagai penjamin kedua makful anhu yang sama dan juga dalam proyek/usaha yang sama.
g.      Jika dalam pertanggungannya berupa harta, lalu orang yang ditanggungnya meninggal dunia, maka kafil bertanggung jawab dalam harta tersebut.
h.      Diperbolehkan memberi persyaratan khusus kepada makful anhu untuk menitipkan hartanya.

Bagi makful anhui (nasabah atau nama yang dijaminkan oleh kafil dan disebut dalam surat jaminan)[5]
a.       Dikenal secara baik oleh kafil dan mempunyai reputasi yang baik sebelumbya.
b.      Mempunyai kemampuan untuk membayar dan menyerahkan hutangnya ke kafil
c.       Tidak ada jaminan, kecuali ada hak (kewajiban) atau yang akan timbul seperti akad upah.
d.      Makful anhu diperbolehkan meminta lebih dari satu kafil (pihak surat jaminan).
Bagi  makful lahu (penerima surat jaminan)
a.       Mempunyai hubungan yang jelas dengan makful anhu.
b.      Mempunyai hak untuk menagih kewajiban yang telah dilalaikan oleh makful anhu kepadda kafil.
Bagi mafkul bih (sesuatu yang dijadikann jaminan)
a.       Jumlah hutang dan jatuh tempo hutang harus jelas dadn benar,
b.      Bersifat mengikat dan tidak dapat digugurkan kevuali dengan cara membayarnya atau terjadinya pengguguran hak yang dilakukan oleh pemilik hak,
c.       Ketika mafkul anhu mengalami ciderajanji dengan makful lahu, maka pihak kafil diperbolehkan meminta komisi. Besar komisi sesuai dengan kesepakatan bersama.
Dapat disimpulkan bahwa kafalah dapat dan boleh diterapkan dalam berbagai bidang dalam lapangan muammalah, menyangkut jaminan atas harta benda dan jiwa manusia.


Objek kafalah
            Kafalah tidak sah kecuali di dalam masalah harta, bukan fisik, oleh karena itu, sesungguhnya kafalah sah engan menghadirkan tubuh setiap orang yang memiliki benda penjaminannya sepeti pinjaman untuk dikembalikan atau dikembalikan kompensasinya apabila rusak sebagaimana ssah dengan menghadirkan fisik orang yang memiliki utang.
            Kafalah sah dengan hal tersebut masing-masing barang perniagaan dan utang merupakan hak harta.
            Adapun hak-hak yang berhubungan dengan fisik, maka kafalah tidak sah, karena ia tidak dapat dilunasi atau dibayarkan kecuali dengan fisik yang sama dimana hak tersebut wajib padadnya.
            Hal-hal seperti hudud yang merupakan hak Allah atau hukum hudud yang merupakan hak Adami seperti menuduh berzina dan qisas, maka tidak sah kafalah didalamnya, karena ia tidak mungkin dilunasi oleh orang yang di jamin.
            Tidak sah juga kafalah (jaminan) pada hak-hak perkawinan yang bersifat fisik, yaitu harta warisan dan pergaulan serta hal lainnya dari setiap hak yang berhubungan dengan fisik orang yang dijamin secara khusus.[6]

3.      Aplikasi kafalah dalam perbankan
Kafalah pada perbankan biasanya diberikan dalam bentuk garansi bank. Garansi bank diberikan kepada nasabah yang ingin ikut lelang tender proyek, baik pembangunan i nfrastruktur maupun pengadaan barang atau jasa. Pemberi proyek biasanya tidak bisa percaya sepenuhnya kepada peserta lelang atau tender proyek. Maka pemberi proyek memberi persyaratan agar ada yang menjain oenyelesaian proyek tersebut  jika nanti mereka memenangkan proyek tersebut.[7]



2.      Hadis tentang hawalah
A.     Hadis dan terjemahan
.....................................

B.           Kandungan makna dan istinbath hukum
Hiwalah dalam hukum islam tidak hanya menjadi sesuatu yang dibolehkan tetapi juga merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan dalam ajaran islam. Hal ini melihat kepada hikmah yang terdapat dalam hiwalah tersebut hiwalah dilegalkan oleh Rasulullah saw. Dalam rangka memberi solusi kepada orang yang berutang dimana utangnyagnya. Sementara orang yang memberi utang tidak mampu lagi memberi kelonggaran kepada orang yang berhutang. Maka  sudah jauhtempo, tetapi belum memiliki kemampuan untuk melunasi utangnya. Sementara orang yang memberi utang tidk mampu lagi memberi kelonggaran kepada orang yang berhutang. Maka solusi yang ditawarkan oleh fiqh adalah orang yang berhutang mengalihkan hutangnya kepada orang yang mampu untuk membayarkann utangnya kepada orang yang memberi utang tersebut.
            Penundaan utang pada hadis ini dikatakan merupakan perbuatan zalim. Zalim merupakan perbuatan dossa, perbuatan dosa apabila dilakukan haram hukumannya. Maka dapat disimpulkan bahwamenunda-nunda pembayaran utang padahal orang tersebut mampu untuk membayarnnya maka dapat dikatakan hukumnya haram.
            Hadis tersebut juga menjelaskan bahwa Rasulullah saw. Memerintahkan kepada pemilik utang, apabila utangnya dipindahkan kepada pemilik urang, apabila utangnay dipindahkan kepada orang lain yang kaya dan mampu, hendaklah pemindahan tersebut diterima. Dengan demikian, penagihan uatang berpindah dari orang yang berutang kepada muhal alaih. Hanya saja apakah perintah tersebut menunjukkan  wajib atau sunah. Menurut kebanyakan ulama Hanabilah, Ibnu Jarir, Abu Tsaur dan Zhahiriah, pemilik utang wajib menerima pemindahan utang tersebut. Akan tetap, menurut jumhur ulama, perintah terebut menunjukkan sunnah.[8]
            Hiwalah secara bahasa berarti pemindahan. Sedangkan secara istilah hiwalah berarti perpindahan hutang piutang dari tanggungan muhil kepada muhal ‘alaih.
            Hiwalah adalah pengalihan hutang dari orang yang berhutang kepada orang liain yang wajib menanggungnya. Ketentuan umum dalam hiwalah adalah:
1.      Muhil, yakni orang yang berhutang sekaligus berpuitang.
2.      Muhal atau muhtal, yakni orang berpiutang kepada muhil,
3.      Muhal ‘alaih, yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib wajib membayar hutang kepasa muhtal,
4.      Muhal bih yakni utang muhil kepada muhtal, dan
5.      Sighat (ijab-qabul).
Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk meneunjukkan kehendak mereka ddalam mengadakan kontrak (akad).

C.     Aplikasi hawalah dalam perbankan
Hawalah dalam perbankan biasanya diberikan kepada jassa bank dalam pengambilalihan piutang dari pihak lain. Seperti anjak piutang, credit card, dan take over.
Pada factoring (anjak piutang), ban disini berfungsi sebagai lembaga yang menyerahkan sejumlah dana kepada eksportir sebelum barang dikirimkan. Selanjutnya eksportir mengirim barang pesanan importir. Setelah barang sampai kepada importir, maka bank menagih sejumlah bayaran sesuai dengan barang yang telah dipesan. Dan atas jasanya ini bank mendapatkan sejumlah fee.[9]
Jernis-jernis al-wakalah
1.       Wakalah al-mutlaqah
                Wakalah al-mutlaqah ialah mewakilkan secara mutlak tanpa batasan waktu atau urusan-urusaan tertentu.
2.       Wakalah al-muqayyadah
                Dalam kontrak ini pihak pertama menunjukan pihak kedua sebagai wakilnya untuk bertindak atas namanya dalam urusan-urusan tertentu.
3.       Wakalah al-aamanah
                Wakalah al-amanah adalah bentuk wakalah yang lebih luas dari al-muqayyahdah tetapi lebih sederhana  dari al-mutlaqah.[10]









Bab III
PENUTUP
KESIMPULAN

Kafalah dan Hiwalah termasuk kajian fiqih muamalah yang aplikasinya diimplementasikan dalam dunia perbankan syari’ah. Hal ini juga membuat tercertusnya Fatwa Dewan Syari’ah Nasional yang mengatur tentang prosedur implementasi kafalah dan hiwalah agar terterapkan dengan baik. Fatwa DSN yang menetapkan tentang kafalah yaitu Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.11/DSN-MUI/IV/2000 dan Fatwa DSN yang menetapkan hiwalah yaitu Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.12/DSN-MUI/IV/2000.
MUI/IV/2000 dan Fatwa DSN yang menetapkan hiwalah yaitu Fatwa Dewan Syari‟ah
 Nasional No.12/DSN-MUI/IV/2000. Hutang piutang sudah menjadi hal yang lumrah, namun dalam aplikasi yang nyata alangkah lebih baiknya bila kita menjalankannya sesuai syariat Islam. Dimana,  bila kita menjalankannya sesuai syariat agama akan memberikan nilai tambah yang lebih baik seperti, tidak memberatkan pihak peminjam, pahala yang akan diberikan Allah SWT lebih besarnya nilainya dibanding dengan pahala sedekah. Barang gadai adalah milik orang yang menggadaikannya. Namun bila telah  jatuh tempo, maka penggadai meminta kepada Murtahin untuk menyelesaikan  permasalah hutangnya, dikarenakan hutangnya yang sudah jatuh tempo, harus dilunasi seperti hutang tanpa gadai. Dengan adanya barang gadai tidak menjadikan keraguan pihak pemberi pinjaman untuk memberikan hutang karena adanya jaminan yang diberikan penerima hutang kepadanya. Pada hawalah dan kafalah, penanggung hutang yang menjamin hutang hukumnya adalah sunnah. Dalam pelaksanaan kafalah harus ada kerelaan dan keikhlasan dari penjamin hutang, tanpa ada paksaan serta memenuhi syarat-syarat yang berlaku sesuai syariat agama Islam. Bila salah satu syariat tersebut tidak terpenuhi maka penjamin tidaklah  berhak menjadi seorang penjamin hutang yang sah


Daftar Pustaka

 Al Bassam dan Abdullah bin Abdurrahman. 2011. Syarah Bulughul Maram. Jakarta: Pustaka Azzam
Febriyarni, Busra. 2013. Hadis-Hadis Ekonomi. Dusun Curup, Rejang Lebong: LP2 STAIN Curup
Muhammad. 2000. Sistem & Prosdur Operasional Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.


[1] Al Bassam dan Abdullah bin Abdurrahman. 2011. Syarah Bulughul Maram. Jakarta: Pustaka Azzam. Hlm. 561
[2] Busra Febriyarni. 2013. Hadis-Hadis Ekonomi. Dusun Curup, Rejang Lebong: LP2 STAIN Curup. Hlm.137-139

[3] Ibid., hlm. 140-141
[4] Ibid., hlm. 142
[5] Ibid., hlm. 143
[6] Al Bassam dan Abdullah bin Abdurrahman, op.cit., hlm. 562
[7] Busra Febriyarni, op.cit., hlm. 144-145
[8] Busra Febriyarni. Op.cit. Hlm. 146-147
[9] Busra Febriyarni. Op.cit. Hlm. 149
[10] Muhammad. 2000. Sistem & Prosdur Operasional Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta. Hlm.  37
|
This entry was posted on 21.31 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: