Macam-Macam Pemberian
Diajukan sebagai tugas makalah kelompok untuk memenuhi
mata kuliah Fiqh Zakat
Disusun Oleh:
1.
Eka Irawanti
2.
Soleha
3.
Tya Arvidika
4.
Wida Yusari
EPI5 B
Dosen
Pengampu:
Drs. Abdul Hamid. M.Pd.I
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH
SKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN) CURUP
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat
dan hidayah-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “Macam-macam Pemberian”
Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan
persyaratan untuk menyelesaikan tugas
kelompok mata kuliah “Fiqh
Zakat”.
Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak
kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak
sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Curup, November 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Islam adalah agama yang diridhoi
oleh Allah SWT dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta melalui nabi
Muhammad SAW. Semasa hidup, beliau selalu berbuat baik dengan amalan sholeh
seperti zakat, pemberian hadiah, hibah dan lain sebagainya. karena islam
menganjurkan untuk bershodaqoh dengan tujuan menolong saudara muslim yang
sedang kesusahan dan untuk mendapat ridho Allah SWT.
Memberikan sesuatu kepada orang lain, sebenarnya merupakan perbuatan yang
sangat dianjurkan dalam agama Islam, karena di dalamnya terdapat manfaat yang
sangat besar. Menghilangkan sifat iri dan dengki, serta memupuk rasa cinta
kasih. Termasuk dalam hal yang sangat dianjurkan ini adalah tradisi yang
berlaku di tengah masyarakat, di mana mereka saling memberikan berupa kue,
makanan dan sebagainya. Ketika bepergian ke suatu daerah membeli oleh-oleh
untuk dibagikan kepada kerabat dan tetangga.
Saling memberi, walaupun yang diberikan itu kurang bernilai, sangat besar
artinya dalam rangka menjalin hubungan persaudaraan, saling menjaga hubungan baik,
seperti hidup bertetangga.
Pemberian dimaksud ada yang hukumnya wajib, artinya harus dikeluarkan
atau ditunaikan, dan ada yang hukumnya sunat. Juga ada pemberian yang
diharamkan seperti sogok dan gratifikasi. Dalam bahasan berikut hanya
dibicarakan pemberian wajib dan sunat, yang di antara macam-macam
pemberian tersebut adalah zakat,
sedekah, infaq, wakaf, hadiah dan hibah.
Sedekah bisa berupa uang, makanan,
pakaian dan benda-benda lain yang bermanfaat. Dalam pengertian luas, sedekah
bisa berbentuk sumbangan pemikiran, pengorbanan tenaga dan jasa lainnya bahkan
senyuman sekalipun. Beberapa hal diatas adalah bagian dari tolong menolong
dalam kebaikan yang diperintahkan agama islam seperti pemberian zakat, infaq, wakaf
hadiah, hibah dan sedekah. Maka pada makalah yang singkat ini penulis akan
sedikit menguraikan hal tersebut seberapa penting dalam dunia pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian zakat, dasar hukum zakat dan harta
yang wajib dizakatkan?
2.
Apakah pengertian dan keutamaan sedekah?
3.
Apakah pengertian dari infaq?
4.
Apakah pengertian dari wakaf?
5.
Apakah pengertian dari hadiah?
6.
Apakah pengertiah dari hibah?
C. Tujuan
1.
Mengetahui pengertian zakat, dasar hukum zakat dan
harta yang wajib dizakatkan.
2.
Mengetahui pengertian dan keutamaan sedekah.
3.
Mengetahui pengertian dari infaq.
4.
Mengetahui pengertian dari wakaf.
5.
Mengetahui pengertian dari hadiah.
6.
Mengetahui pengertian dari hibah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pemberian
Pemberian adalah harta atau
sesuatu yang dikeluarkan dari seseorang berupa barang, benda atau uang kepada
lembaga, badan, yayasan, atau orang
lain, termasuk mustahik. Pemberian tersebut bisa berupa bangunan,
pabrik, tanah, makanan, oleh-oleh dan lain sebagainya.
Memberikan sesuatu kepada orang lain, sebenarnya
merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan dalam agama Islam, karena di
dalamnya terdapat manfaat yang sangat besar. Menghilangkan sifat iri dan
dengki, serta memupuk rasa cinta kasih.
Dalam sebuah hadis yang berasal dari Abu Hurairah, Rasulullah
Saw bersabda:
يَانِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لاَتَحْقِرَنَّ جَارَةٌ
لِجَارَتِهَاوَلَوْفِرْسِنَ شَاةٍ
Artinya: “Hai para kaum
Muslimat, janganlah seorang tetangga menganggap tiada berharga pemberian kepada
tetangganya, walaupun pemberiannya hanya berupa kaki kambing saja” (H.R.
Bukhari dan Muslim)[1].
B.
Macam-macam pemberian
1.
Zakat
a. Pengertian
zakat
Al-Syirbini
mengartikan zakat adalah nama bagi kadar tertentu dari harta benda tertentu
yangwajib didayagunakan kepada golongan-golongan masyarakat tertentu
Ibrahim
‘Usman asy-Sya’lan mengertikan zakat adalah memberikan hak milik harta kepada
orang yang fakir yang muslim, bukan keturunan Hasyim dan bukan budah yang telah
dimerdekakan oleh keturunan Hasyim, dengan syarat telepasnya manfaat hata yang
telah diberikan itu dari pihak semula, dari semua aspek karena Allah.
Jadi
dapat dikatakan bahwa zakat ialah pemindahan sebagian harta umat dari salah
satu tangan umat yang dipercayai oleh Allah untuk mengurus dan
mengendalikannya, mengurus harta pemberian yang diserahkankepada orang-orang
kaya ke tangan yang lain orang yang hidupnya susah payah, dan Allah telah
menjadikan harta itu sebagai hak dan rizkinya, yaitu golongan fakir. Zakat
adalah memberikan sebagian harta yang telah sampai nisab kepada pihak yang
gtelah ditetapkan oleh syara’ dengan kadar tertentu.
b. Dasar
hukum zakat
Surat
An-Nur ayat 56 yang artinya: “dan
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu
diberi rahmat,” (QS. An-Nur : 56)
Surat
At-Taubah ayat 11 yang artinya: “Jika
mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu)
adalah saudara-saudaramu seagama. Dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum
yang mengetahui.” (QS. An-Nur: 33)
c. Harta
yang wajib dizakatkan
Dalam Undang-Undang
tentang Pengelolaan zakat, disebutkan tujuh jenis harta yang dikenai zakat,
yaitu: Emas, perak dan uang; Perdagangan dan perusahaan; Hasil pertanian, hasil
perkebunan dan hasil perikanan; Hasil pertambangan; Hasil peternakan; Hasil
pendapatan dan jasa; Rikaz.
Harta-harta kekayaan
segagaimana disebutkan di atas, wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah
memenuhi ketentuan wajib zakat (mencapai nisab, kadar dan waktu/haul).[2]
2. Sedekah
Pengertian
sedekah atau shadaqah secara bahasa berasal dari kata "shadaqa" yang
artinya "benar". Dari kata ini dapat diartikan bahwa orang yang
bersedekah adalah orang yang benar imannya.
Adapun
secara terminologi, sedekah adalah pemberian sukarela yang dilakukan oleh
seseorang kepada orang lain, terutama kebada orang-orang miskin yang tidak di tentukan
baik jenis, jumlah maupun waktunya, dengan niat hanya semata karena mengharap ridha dan pahala dari Allah Swt,
tanpa mengharapkan jasa atau
penggantian.
Sedekah
tidak terbatas pada pemberian yang bersifat materi saja tetapi juga dapat
berupa jasa yang bermanfaat bagi orang lain. Bahkan senyum yang dilakukan
dengan tulus dan ikhlas untuk menyenangkan hati orang lain termasuk dalam
kategori sedekah.
Dalam
al-Qur’an surat al-Baqarah/2 ayat 245 Allah Swt
menyatakan melalui firman-Nya yang artinya: “Siapakah yang mau
memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di
jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak”
Umumnya,
ketika seseorang membelanjakan sebagian hartanya, maka berkuranglah apa yang
dimilikinya. Tapi, ternyata tidak demikian halnya dengan sedekah. Telah tegas
dijelaskan oleh Nabi Saw.:
مَانَقَصَ
مَالٌ مِنْ صَدَقَةٍ
Artinya:”Harta tidak akan berkurang dengan
disedekahkan.” (H.R Muslim)[3]
Imam
Nawawi menjelaskan hakikat hadis ini. Harta itu tidak berkurang karena
diberkahi Allah Swt, dengannya seseorang menjadi terhindar dari suatu mudharat.
Maka, pengurangan secara lahir diganti dengan berkah yang tersembunyi. Hal
ini bisa dikenali melalui rasa dan kebiasaan.
Kedua,
meskipun secara lahir berkurang, namun pahala yang dijanjikan bisa menutup
hartanya yang berkurang, bahkan dilipatgandakan dengan kelipatan yang banyak,
dengan jumlah yang tidak terhitung. sesuai dengan kabar gembira dari Nabi Saw
yang bersabda, Sedekah itu mampu mencegah tujuh puluh pintu keburukan. (HR
Thabrani).
Keburukan
yang dimaksud bisa berhubungan dengan dunia dan akhirat sekaligus. Keburukan
yang menimpa urusan dunia seperti datangnya penyakit, musibah, kepailitan dan
yang lain. Adapun keburukan di akhirat, meliputi azab kubur, hingga peristiwa
yang terjadi setelah hari kiamat.
Jika
begitu banyak dan komplit faidah bersedekah, maka alangkah butuhnya kita untuk bersedekah kepada orang yang
membutuhkan, melebihi kebutuhan orang miskin terhadap sedekah yang kita
berikan. Orang yang bersedekah mendapat faidah lebih banyak dari faidah yang
didapatkan oleh orang miskin yang menerimanya. Di sinilah sebenarnya letak
keutamaan dan kelebihan dari kebiasaan bersedekah. Bersedekah harus ikhlas se
mata-mata kerena Allah Swt, sebab sedekah yang tidak disertai dengan
keikhlasan, bisa membatalkan sedekah itu sendiri. Hal-hal yang bisa membatalkan sedekah adalah:
1. Menyebut-nyebut
sedekah yang telah diberikannya.
2. Menyakiti
hati orang yang telah diberinya sedekah.
3. Bersifat
riya.
4. Membangga-banggakan
sedekahnya[4].
Sedangkan hikmah atau manfaat bersedekah
di antaranya adalah:
1. Sebagai
bukti ungkapan syukur kepada Allah Swt.
2. Menjauhkan
sifat kikir dan sombong.
3. Menambah
keberkahan pada harta yang kita miliki.
4.
Menghapuskan sebagian dosa yang telah
kita perbuat.
5.
Memberikan
bantuan/pertolongan terhadap sesama manusia.
6.
Menyambung
tali silaturrahmi dan persaudaraan.
7.
Melindungi
keselamatan diri kita di akhirat nanti.
Pada dasarnya, bersedekah
hukumnya adalah sunat. Kecuali sedekah dalam pengertian zakat, maka hukumnya
adalah wajib. Jadi sedekah itu ada dua macam, sedekah sunat dan sedekah wajib.
Sedekah wajib atau zakat dipahami dari firman Allah dalam surat At-Taubah/9 ayat 103
yang artinya: “Ambillah sedekah (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikannya...”.
3. Infaq
Menurut bahasa infak
berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan harta untuk
kepentingan sesuatu. Sedangkan menurut istilah, infaq adalah mengeluarkan
sebagian harta yang diperintahkan dalam Islam.
Infak berbeda dengan
zakat, infak tidak mengenal nisab atau jumlah harta yang ditentukan secara
hukum. Infak tidak harus diberikan kepada mustahik tertentu, melainkan kepada
siapapun misalnya orang tua, kerabat, anak yatim, atau orong-orang yang sedang
dalam kesulitan. Jadi infak diberikan guna
menutupi kebutuhan orang lain, baik
berupa makanan, minuman, dan lain-lain.
Infak juga berarti mendermakan, memberikan rezeki, atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain atas
dasar keikhlasan dan semata-mata karena Allah
Swt.
Infak lebih luas pengertiannya dari pada sedekah,
karena infak mencakup pengertian membelanjakan harta untuk sedekah dan
membelanjakan harta untuk diri sendiri maupun keluarga (anak, istri dan
lain-lain). Dengan demikian, hukum infak bisa sunat dan bisa wajib, seperti
memberikan nafkah untuk keluarga. Memberikan infak sangat dianjurkan dan besar sekali
pahalanya.
Orang
yang menginfakkan hartanya di jalan Allah akan mendapatkan pahala dan ganjaran
yang besar dari Allah Swt. Sebaliknya, orang yang tidak mau dan menahan
hartanya dari berinfak, akan mendapatkan kerugian
4. Wakaf
Wakaf
adalah bentuk pemberian dari harta kekayaan dengan ikhlas atau suatu pemberian
yang berlaku abadi untuk kepentingan pemerintahan Islam, kepentingan keagamaan,
dan atau untuk kepentingan umum. Pemberian ini biasanya tidak dapat ditarik
kembali oleh pihak yang memberikan wakaf. Ciri pemberian wakaf adalah bahwa
pemberian tersebut adalah untuk selama-lamanya[5].
Dalam
peristilahan syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (kepemilikan) asal (tahbisul
ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbisul
ashli ialah menahan barang yang
diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan
dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan
kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan[6].
Dapat
dikatakan bahwa wakaf seringkali diartikan sebagai aset yang dialokasikan untuk
manfaat orang banyak, di mana substansi atau pokoknya ditahan, sementara
manfaatnya boleh dinikmati untuk kepentingan umum atau orang banyak. Jadi wakaf
tidak akan berarti kecuali setelah benar-benar yang memberi wakaf menyatakan
bahwa harta yang diwakafkannya menjadi
milik dan kemaslahatan umat. Dan wakaf
baru berarti, apabila didayagunakan dan bermanfaat, tanpa menghilangkan harta
wakaf tersebut.
Sepanjang
sejarah Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam
memajukan perkembangan agama. Sebelum lahir UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf,
perwakafan di Indonesia diatur dalam PP No. 28 Tahun 1977 tentang perwakafan
tanah milik dan sedikit tercover dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Agraria. Namun, peraturan perundangan tersebut hanya mengatur
benda-benda wakaf tidak bergerak dan peruntukannya lebih banyak untuk
kepentingan ibadah mahdhah, seperti masjid, musholla, pesantren, kuburan
dan lain-lain.
Karena
keterbatasan cakupannya, peraturan perundangan perwakafan diregulasi agar
perwakafan dapat diberdayakan dan dikembangkan secara lebih produktif. Regulasi
peraturan perundangan perwakafan tersebut berupa Undang-Undang No. 41 Tahun
2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaannya. Kedua peraturan perundangan tersebut memiliki urgensi, yaitu
selain untuk kepentingan ibadah mahdhah, juga menekankan perlunya
pemberdayaan wakaf secara produktif untuk kepentingan sosial (kesejahteraan
umat).
Sedangkan
berkenaan dengan wakaf dengan dana tunai
(cash), walaupun ada sedikit perbedaan pandangan, namun kecenderungan
para ulama membolehkannya. Dalam konteks ini, melalui pembahasan awal di Dewan
Syariah Nasional MUI yang ditindak lanjuti oleh keputusan rapat Komisi Fatwa
MUI dalam mengakomodasi kemaslahatan sejalan dengan maqashidusy-syari’ah yang
terdapat pada konsep wakaf tunai berdasarkan pendapat az-Zuhri, ulama mazhab
Hanafi, Maliki, dan Hanbali seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qudamah, para ulama
Indonesia telah memutuskan untuk membolehkan wakaf tunai.
Fatwa
Majelis Ulama Indonesia yang membolehkan tentang pelaksanaan wakaf tunai (wakaf
uang) dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Wakaf yang diberikan tersebut bisa
dilakukan oleh seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum, dan bisa
juga dalam bentuk lain, seperti surat-surat berharga.
Inti
ajaran yang terkandung dalam amalan wakaf itu sendiri menghendaki agar harta
wakaf itu tidak boleh hanya dipendam tanpa hasil yang akan dinikmati oleh orang
yang membutuhkan. Semakin banyak hasil harta wakaf yang dapat dinikmati orang,
akan semakin besar pula pahala yang akan
mengalir kepada pihak wakif (yang berwakaf). Dana yang dapat digalang
melalui Sertifikat Wakaf Tunai ini nantinya akan dikelola oleh suatu manajemen
investasi. Manajemen investasi dalam hal ini bertindak sebagai nadzir (pengelola
dana wakaf) yang akan bertanggung jawab terhadap pengelola harta wakaf.
Dalam
mengembangkan model wakaf jenis ini, diperlukan profesionalisme dan integritas
pengelola wakaf (nadhir) yang didukung oleh semua pihak yang
berkepentingan agar wakaf dapat memberikan manfaat langsung dalam berbagai
kegiatan dan perbaikan sosial.
Wakaf
adalah bentuk pemberian dari harta kekayaan dengan ikhlas atau suatu pemberian
yang berlaku abadi untuk kepentingan pemerintahan Islam, kepentingan keagamaan,
dan atau untuk kepentingan umum. Pemberian ini biasanya tidak dapat ditarik
kembali oleh pihak yang memberikan wakaf. Ciri pemberian wakaf adalah bahwa
pemberian tersebut adalah untuk selama-lamanya.
Dalam
peristilahan syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (kepemilikan) asal (tahbisul
ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbisul
ashli ialah menahan barang yang
diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan
dan sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan
kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan
Dapat
dikatakan bahwa wakaf seringkali diartikan sebagai aset yang dialokasikan untuk
manfaat orang banyak, di mana substansi atau pokoknya ditahan, sementara
manfaatnya boleh dinikmati untuk kepentingan umum atau orang banyak. Jadi wakaf
tidak akan berarti kecuali setelah benar-benar yang memberi wakaf menyatakan
bahwa harta yang diwakafkannya menjadi
milik dan kemaslahatan umat. Dan wakaf
baru berarti, apabila didayagunakan dan bermanfaat, tanpa menghilangkan harta
wakaf tersebut.
5. Hadiah
Hadiah adalah pemberian
dari seseorang, dengan menyerahkan se suatu kepada orang tertentu karena
prestasi dan pertemanan, agar terwujud hubungan yang baik dan ingin mendapatkan
pahala dari Allah Swt. Hadiah tersebut
diberikan tanpa adanya permintaan dan syarat.
Hadiah bisa diberikan
berupa penghargaan dari pimpinan suatu lembaga, instansi atau perusahaan
terhadap karyawannya yang berprestasi. Bisa juga dari kepala sekolah atau guru yang memberikan
hadiah kepada murid-muridnya yang menonjol dan berprestasi.
Hadiah dalam kehidupan
antar individu dan komunitas manusia memiliki pengaruh yang signifikan untuk
terwujudnya ikatan dan hubungan sosial, momen-momennya senantiasa terulang
setiap hari di acara-acara keagamaan, kemasyarakatan, dan selainnya. Dengan
hadiah, terwujud rasa kecintaan, kasih sayang,
dan kesatuan hati. Di samping itu, dengan pemberian hadiah ada kesan
memuliakan dan menghormati seseorang. Di samping itu juga dapat menghilangkan
rasa iri dan dengki. Dalam sebuah hadisnya, Rasulullah Saw bersabda:
تَهَادُوْا فَاِنَّ الْهَدِيَّةَ تَذْهَبُ بِالضَّغَائِنِ
Artinya: “Hendaklah kamu saling memberi
hadiah. Sesungguhnya pemberian hadiah itu dapat melenyapkan kedengkian” (H.R.Tarmidzi
dan Ahmad).
Pada dasarnya tidak dibolehkan menolak hadiah yang
diberikan, tetapi apabila khawatir muncul fitnah atau terdapat penghinaan
terhadap orang yang mengambil hadiah tersebut, maka dibolehkan menolaknya.
Demikian pula apabila hadiah tersebut berupa barang curian atau barang haram, maka tidak boleh diterima karena yang demikian itu termasuk makan
barang haram dan termasuk tolong-menolong di atas perbuatan dosa dan
permusuhan.
Disunatkan
membalas pemberian hadiah dengan yang semisalnya atau dengan sesuatu yang lebih
dari hadiah tersebut, apabila tidak mampu membalasnya, hendaknya dia mendoakan
kebaikan untuknya. Hibah
Hibah secara bahasa
artinya “pemberian”. Sedangkan pengertian hibah menurut istilah sebagaimana
dikemukakan oleh Muhammad Asy-Syarbini seperti dikutip Rahmat Syafei[7]
adalah, “Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih
hidup dan dilakukan secara sukarela”. Jadi hibah adalah pemberian suatu benda
harta milik seseorang secara sukarela kepada orang lain di waktu ia masih
hidup, dengan tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Dalam al-Qur’an surat
al-Baqarah/2 ayat 177 Allah Swt berfirman yang artinya: “Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan)...”
Di antara syarat barang
atau harta yang dihibahkan adalah berupa barang milik sendiri, utuh (tidak
mudah habis seperti makanan) dan bermanfaat. Hibah bisa diberikan kepada ahli
waris, masyarakat atau orang lain. Contoh hibah bisa berupa rumah, kebun dan
sebagainya.
Dalam hibah ada dua poin yang hendak
dicapai. Pertama, dengan memberikan harta pada orang lain akan menimbulkan
suasana keakraban dan saling menyayangi antara sesama manusia. Mempererat
hubungan silaturrahmi antara sesama muslim merupakan salah satu ajaran agama
Islam. Poin yang kedua yang ingin dicapai dalam hibah adalah terbentuknya
suatu kerja sama dalam berbuat baik.
Hibah dapat dianggap sah
apabila pemberian itu sudah mengalami proses serah terima. Jika hibah itu baru
diucapkan dan belum terjadi serah terima maka yang demikian itu belum termasuk
hibah. Barang yang sudah dihibahkan itu apabila telah diterima maka yang
menghibahkan tidak boleh
meminta kembali kecuali orang yang memberi itu orang tuanya
sendiri
kepada
anaknya.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Zakat ialah pemindahan sebagian
harta umat dari salah satu tangan umat yang dipercayai oleh Allah untuk
mengurus dan mengendalikannya, mengurus harta pemberian yang diserahkankepada
orang-orang kaya ke tangan yang lain orang yang hidupnya susah payah, dan Allah
telah menjadikan harta itu sebagai hak dan rizkinya, yaitu golongan fakir.
Zakat adalah memberikan sebagian harta yang telah sampai nisab kepada pihak
yang gtelah ditetapkan oleh syara’ dengan kadar tertentu.
Sadaqah, pemberian yang sifatnya ibadah umumnya kepada yang lebih
membutuhkan. Tapi sadaqah, tidak hanya masalah harta senyuman, menolong orang,
bertasbih, juga disebut sadaqah. Bedanya dengan hadiah, kalau hadiah
pemberiannya bisa besifat umum saja, sekedar hubungan sosial.
infaq, adalah pengeluaran harta yang sifatnya umum sesuai dengan niat dan
alokasinya bahkan infaq juga dikaitkan dengan orang kafir. Allah sebutkan orang
kafir berinfaq. Infaq dapat bersifat wajib seperti suami infaq kepada
isterinya. Bisa bersifat sunah, bisa juga diistilahkan untuk perkara yang haram
pendeknya infaq adalah bentuk pengeluaran harta.
Wakaf adalah Mengeluarkan harta dengan menaha pokok harta tersebut dan
memanfaatkan hasilnya, artinya harta tersebut dibiarkan tetap ada dan diambil
manfaatnya misalnya wakaf tanah, maka tanah tersebut tetap ada, manfaatnya yang
dipake.
Hadiah
adalah pemberian berdasarkan rasa cinta, baik kepada yang setara, kepada yang
lebih tinggi atau kepada yang lebih rendah dianjurkan suka memberi hadiah untuk
menambah r asa cinta umumnya bersifat materi.
تهادوا تحابوا
Sabda Rasulullah saw, hendaklah kalian saling memberi hadiah, maka kalian
akan saling mencintai.
hibah adalah pemberian, dia bisa masuk dalam hadiah,
jika latar belakangnya sosial, bisa masuk ke dalam sadaqah, jika latar
belakangnya ibadah.
DAFTAR
PUSTAKA
Achmad Djunaidi dan
Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif, Cetakan Keempat, Mumtaz Publishing, Depok, 2007
Asnaini,
2008, Zakat Produktif Dalam Perspektif
Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Muhammad Faiz
Al-Math, 1100 Hadis Terpilih Sinar
Ajaran Muhammad, Terjemahan oleh A.Aziz Salim Basyarahil, Cetakan kedua,
Gema Insani Press, Jakarta, 1992
Nursyamsudin, Fiqh
(Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam
Pada Sekolah), Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Dep. Agama RI., Jakarta, 2009
Rachmat
Syafei, Fiqh Muamalah, Cetakan ke-4, Penerbit Pustaka Setia, Bandung,
2001
Zainuddin Hamidy dkk. Terjemah
Hadits Shahih Bukhari, Jilid IV, Cetakan kedua, Wijaya, Jakarta, 1983
[1]Zainuddin Hamidy dkk. Terjemah
Hadits Shahih Bukhari, Jilid IV, Cetakan kedua, Wijaya, Jakarta, 1983, hal. 51
[2] Asnaini, 2008, Zakat
Produktif Dalam Perspektif Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm.
23-36
[3]Muhammad Faiz
Al-Math, 1100 Hadis Terpilih Sinar
Ajaran Muhammad, Terjemahan oleh A.Aziz Salim Basyarahil, Cetakan kedua,
Gema Insani Press, Jakarta, 1992, hal. 187
[4]Nursyamsudin, Fiqh
(Program Peningkatan Kualifikasi Guru Madrasah dan Guru Pendidikan Agama Islam
Pada Sekolah), Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Dep. Agama RI., Jakarta,
2009, hal. 126
[5]Totok Jumantoro, Kamus
Ilmu Ushul Fikih, Amzah, Jakarta, 2005, hal. 249
[6]Departemen Agama RI., Paradigma
Baru Wakaf di Indonesia,Direktorat Pemberdayaan
Wakaf Dirjen Bimas Islam, Jakarta,
2007, hal. 1
[7]Rachmat Syafei, Fiqh
Muamalah, Cetakan ke-4, Penerbit Pustaka Setia, Bandung, 2001, hal. 242
0 komentar: