Author: Unknown
•17.27


BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang’
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah.Dia-lah sang pembuat hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi (seperti:wajib,sunnah,haram,makruh,mubah,maupun yang terkait) dengan hukum wad’I (seperti:sebab,syarat,halangan,sah,batal,fazid,azimah dan rukhsoh). Untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum fih,karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram.atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih,sedangkan seseorang yang di kenai khitab itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf).




BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Mahkum Fih/Mahkum Bih
        Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul menggunakan istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib maupun yang haram. Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disiasati dengan hukum, baik bersifat yang deperintahkan maupun yang dilarang.
        Menurut ulama Ushul Fiqh, yang di maksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; memilih suatu pekerjaan; dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.  (Al-Bardisi: 11: 148)[1]
Menurut Usuliyyin,yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan.[2]
Yang dimaksud dengan Mahkum Fih ialah perbuatan mukallaf yang menjadi obyek hukum syara’. Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh yang dimaksud mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i baik yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal . Jadi, secara singkatnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan mukallaf yang berkaitan atau dibebani dengan hukum syar’i.[3]
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’I itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut di tetapkan suatu hukum. Misalnya:
·            Firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah :43, yang artinya:
“dirikanlah shalat …”
·            Firman Allah SWT. Dalam surat Al-An’am : 151, yang artinya:
“janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar …”
·            Firman Allah SWT. Dalam surat Al-Maidah : 5-6, yang arinya:
“Apabila kamu hendak mengejrakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku …”
·            Rasulullah Saw. Bersabda:
Yang artinya: “pembunuh tidak mewarisi.” (H.R. Abu Dawud, Imam Malik, dan Ahmad Ibn Hambal).
Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa salah satu penyebab seseorang tidak mendapat harta waris adalah pembunuhan. Dengan demikian, pembunuhan itu merupakan perbuatan mukallaf yang menjadi penghalang (mani ) untuk menerima waris.

        Dengan beberapa contoh di atas, dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu, ulama Ulama Fiqih menetapkan kaidah “Tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan.” Kaidah tersebut telah disepakati oleh sebagian besar ulama ushul. Di antara mereka, ada yang beragumen bahwa apabila alam syara’ tercakup hukum wajib ataupun suna, maka peritahnya pasti jelas, yakni perintah wajib itu berkaitan dengan keharisan, sedangkan sunah tidak demikian, tetapi keduanya sama-sama bisa terlaksana dengan adanya perbuatan.[4]
        Begitu pula hukum syara’ yang berkaitan dengan haram dan makruh keduanya terjadi dengan perduatan, yakni mengekang diri untuk tidak melaksanakan sesuatu yang haram atau makruh tersebut.
        Namun menurut mayoritas golongan mu’tazilah, bahwa objek hukum ang terkait dengan larangan, baik yang hukumnya haram maupun makruh bukanlah perbuatan, namun terjadi semata-mata karena tidak adanya perbuatan. Dan hal itu merupakan kemampuan seorang mukallaf untuk tidak mengerjakan perbuatan tersebut.
        Pendapat seperti itu di nilai tidak tepat menurut Jumhur, karena tidak adanya perbuatan tidak berarti seseorang tidak mempu melakukannya. Dengan demikian, tidak berkaitan dengan pujian ataupun pahala. Maka tidak ada bedanya dengan ketiadaan sesuatu yang merupakan hasil dari sebelum adanya keinginan untuk mengerjakannya. Maka otomatis tidak ada nilai tuntutan di dalamnya.[5]
Syarat-syarat pen-taklif­-an menurut syara’:
1.         Perbuatan itu harus diketahui mukallaf dengan pengetahunan yang sempurna, sehingga mukallaf tersebut mampu untuk melaksanakannya sebagaimana ia tuntut. Berdasarkan hal ini maka nash-nash Al-quran yang mujmal (yang belum dijelaskan maksudnya), tidak sah men-taklif-kannya pada mukallaf, kecuali seudah penjelasan Rasulullah menyusulnya. Firman Allah SWT:
Yang artinya: “… Dan dirikanlah shalat…(Al-Baqarah (2): 43)
Nash Alquran itu belum menjelaskan rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan tata cara pelaksanaannya. Oleh Karen itulah Rasulullah saw, menjelaskan ke-mujmal-an ini, dan berkata: “Lakukanlah shalat sebagaimana kamu melihatku melakukan shalat.”
2.         Perbuatan itu harus diketahui, bahwa pen-taklif-an perbuatan itu datang dari orang yang mempunyai otoritas untuk menganakan taklif dan dari orang yang mukallaf wajib mengikuti hukum-hukumnya, karena dengan pengetahuan inilah maka kemauan untuk menaatinya diarahkan.
3.         Perbuatan yang di-taklif-kan harus bersifat mungkin, atau ia berada Dalam kemampuan mukallaf untuk mengerjakannya atau meninggalkannya. Karena mustahil suatu perintah disangkutpautkan dengan yang mustahil, seperti mengumpulkan antara dua hal yang berlawanan. Tegasnya tidak diperintahkan sesuatu melainkan sesuatu itu belum ada dan mungkin akan terwujud.
4.         Dapat di usahakan oleh hamba dan pekerjaan itu menurut ukuran biasa sanggup dilakukan oleh orang yang menerima khitab itu.
5.         Dapat dikerjakan dengan ketaatan, yakni bahwa pekerjaan itu dilakukan untuk menunjukan sikap taat. Kebanyakan ibadah masuk golongan ini, kecuali dua perkara, yaitu:
v  Nazar yang menyampaikan kita kepada suatu kewajiban yang tidak mungkin dekerjakan dengan maksud taat, karena tidak diketahui wajibnya sebelum dikerjakan.
v  Pokok bagi iradah taat dan ikhlas. Bagi yang taat dan ikhlas terhadap iradat mendapat pahala, karena kalau memang dikehendaki niscaya terlaksana juga iradat itu.

Di samping syarat-syarat yang tersebut di atas, bercabanglah beberapa masalah lain, yaitu:
1.         Sanggup mengerjakan. Tidak boleh di beratkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya.
2.         Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulam berpendapat, bahwa boleh dibebankan kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap rasa iman. Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk membolehkan taklif terhadap sesuatu yang mustahil.
3.         Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan. Pekerjaan ang sukar itu ada dua macam:
Ø  Kesukarannya itu luar biasa dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan itu dilaksanakan.
Ø  Tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan, hanya terasa lebih berat daripada yang biasa.
4.         Pekerjaan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaran ang luar biasa.[6]

Macam-macam mahkum Fih
Dari segi keberadaanya secara material dan syara’, mahkum fih terdiri atas:
a.          Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah perbuatan mukallaf, tetapi perbuatan makan itu tidak terkait dengan hukum syara’.
b.         Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’, yaitu hudhud dan qishah.
c.          Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang di tentukan, seperti shalat dan zakat.
d.         Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa menyewa. Perbuatan seperti ini secara material ada dan diakui syara’. Apabila memenuhi rukun dan syaratnya, perbuatan ini mengakibatkan munculnya hukum syara’ ang lain, yaitu halalnya berhubungan suami istri, kewajiban nafkah, dan kewajiban mahar dalam perkawinan; berpindahnya hak milik dalam jual beli; dan berhaknya seseorang menafkahkan milik orang lain; serta berhaknya pihak lain untuk menerima upah dalam akad sewa menyewa.[7]


Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fih dibagi menjadi 4 bentuk, yaitu;
a.          Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali. Dalam hak ini seseorang tidak dibenarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini. Hak sifatnya semata-mata hak Allah ini, menurut ulama Ushul Fiqih ada 8 macam:
·            Ibadah mahdah (murni), seperti iman dan rukun islam yang lima.
·            Ibadah yang didalamnya mengandung makna pemberian dan santunan, seperti zakat fitrah.
·            Bantuan/santunan yang mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil yang dikeluarkan dari bumi.
·            Biaya/santunan yang mengandung makna hukuman. Seperti kharaj (pajak bumi).
·            Hukuman secara sempurna dalam bentuk pidana, seperti hukuman berbuat zina (dera atau rajam).
·            Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang tidak diberi harta waris atau wasiat, karena ia membunuh pemilik harta tersebut.
·            Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kafatar sumpah, kafarat dzihar. Kafarat sumpah, kafarat orang yang melakukan senggama di siang hari bulan Ramadhan, dan berbagai diyat lainnya.
·            Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeliarkan seperlima harta terpendam dan harta rampasan perang.
b.         Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak, hak-hak kepemilikan, hak-hak pemanfaatan hartanya sendiri. Hak seperti ini boleh digunakan oleh pemiliknya.
c.          Kompromi atau hak Allah dengan hak hamba. Tetapi hak Allah di dalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina).
d.         Kompromi antara hak Allah dan hak hamba,tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishash. Hak Allah dalam qishash tersebut berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah seseorang yang tidak halal dibunuh, sedangkan hak pribadi hamba Allah menjamin kemaslahatan pihak ahli waris yang terbunuh.[8]






MAHKUM ALAIH (SUBYEK HUKUM)
1.         Pengertian Mahkum Alaih
        Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah ta’ala, yang disebut mukallaf.
        Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqih, mukallaf disebut juga mahkum alaih (subyek hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dngan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang dilakukan mukallaf dan diminta pertanggungjawabannya, baik di dunia maupun di akhirat. Ia akan mendapatkan pahala atau imbalan bila mengerjakan perintah Allah, dan sebaliknya, bila mengerjakan larangan-Nya akan mendapatkan siksa atau resiko dosa karena melanggar aturan-Nya, di samping tidak memenuhi kewajibannya.[9]
Para ulama ilmu ushul mengatakan bahwa mahkum alaihi adalah :
هُوَ الْمُكَلَّفُ الِّذِي تَعَلَّقَ حُكْمُ الشَّارِعِ بِفِعْلِهِ
Yaitu mukallaf yang perbuatannya berkaitan dengan hukum syari’.
Jadi mukallaf itu merupakan definisi lain dari mahkum ‘alaih.
Secara etimologi mukallaf merupakan derivasi dari kata kallafa yang maknanya adalah membebankan. Karena itu secara etimologi pengertian mukallaf berarti yang dibebani hukum.
Secara terminologi  : mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua yang berkaitan dengan seluruh aktivitas mukallaf memiliki implikasi hukum, dan karenanya harus dipertanggung jawabkan, baik di dunia maupun di akhirat.[10]

Menurut ushuliyyin yang di maksud mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitob Alloh SWT yaitu yang di sebut mukallaf.dalam arti bahasa yaitu yang di bebani hukum,sedangkan dalam istilah ushul fiqih mukallaf sering di sebut subjek hukum.[11]
        Mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah, yang disebut dengan mukallaf. Atau suatu perbuatan mukallaf yang dengan perbuatannyalah hukum syar’I berkaitan, atau mukallaf yang di bebani hukum.
2.         Syarat-syarat taklif
a.          Bahwa ia harus mampu memahami dalil pen-taklif-an, sebagaimana ia mampu untuk memahami nash perundang-undangan yang di-taklif-an padanya dalam Al quran dan sunnah, baik dengan sendirinya atau dengan perantara. Berdasarkan persyaratan ini, maka orang gila tidak terkena taklif. Demikian pula anak kecil, karena ketiadaan akal yang menjadi sarana untuk memahami dalil taklif. Orangf yang ghafil (lalai), orang yang tidur, dan orang yang mabuk juga tidak terkena taklif, karena sesungguhnya mereka dalam keadaan lalai, tidur, atau mabuk yang tidak mampu untuk memahami.

b.         Mukallaf haruslah layak untuk dikenakan taklif. Ahliyyah, makna dalam bahasa arab adalah kelayakan. Adapun ahliyyah menurut kajian ushul fiqih, terbagi menjadi dua macam, yaitu ahliyyah wujub dan ahliyyah ada’.[12]

3.         Dasar Taklif
Orang yang dikenai taklif adalah mereka yang sudah di anggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum atau dalam kata lain seseorang bisa di bebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif. Maka orang yang belum  berakal di anggap tidak bisa memahapi taklif dari syari’(Allod dan Rosulnya) sebagai sabda nabi:
Yang artinya:Di anggat pembebanan hukum dari 3(jenis orang) orang tidur sampai ia bangun,anak kecil sampai baligh,dan orang gila sampai sembuh.(HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu majah dan darut Quthni dari Aisyah dan Aly ibnu Abi Thalib)
4.         Pengertian Ahliyyah
Secara harfiyyah ahliyyah adalah kecakapan menangani sesuatu urusan
Adapun Ahliyyah secara terminologi adalah suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’.
Pembagian ahliyyah
1. Ahliyyah ada’
Yaitu kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya,baik yang bersifat positif maupun negatif.ukuran untuk menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah ada’adalah aqil baligh dan cerdas
2. Ahliyyah Al-wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak hak yang menjadi haknya,tetapi belum mampu untuk di bebani seluruh kewajiban,

Para usuliyyin membagi ahliyyah al wujub ada 2 bagian:

1.Ahliyyah al wujub an-naqishoh.
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya(janin)janin inilah sudah dianggap mempunyai ahliyyah wujub akan tetapi belum sempurna.
2. Ahliyyah al wujub al kamilah
Yaitu kecakapan menerima hak bagi seseorang anak yang telah lahir ke dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal,sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila
-Halangan ahliyyah

Dalam pembahasan awal bahwa seseorang dalam bertindak hukum di lihat dari segi akal,tetapi yang namanya akal kadang berubah atau hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum.seseorang kecakapannya bisa berubah karena di sebabkan oleh hal hal berikut:
1.         Awaridh samawiyyah yaitu halangan yang datangnya dari Alloh bukan di sebabkan oleh manusia seperti: gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa
2.         Al awaridh al muktasabah yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti mabuk,terpaksa,bersalah,dibawah pengampunan dan bodoh.[13]




















[1] Rachmat Syafe’i.Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, 2010, hal. 317
[4] Rachmat Syafe’i.Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, 2010, hal. 317-320
[5] ibid
[6] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih. AMZAH. 2005. Hal. 185-187
[7] Rachmat Syafe’i.Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, 2010, hal. 331-332
[8] ibid
[9] Rachmat Syafe’i.Ilmu Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, 2010, hal. 334
[12] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih. AMZAH. 2005. Hal. 184-185
|
This entry was posted on 17.27 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

1 komentar:

On 5 Maret 2022 pukul 09.49 , jadeonuhle mengatakan...

Titanium Set Off Metal detectors Near You - TITANIAN ARTS
TITANIAN ARTS ridge titanium wallet are very good 2016 ford focus titanium detectors thinkpad x1 titanium for outdoor, ford edge titanium 2021 fishing, and snowmobile babylisspro nano titanium activities,